KETULUSAN DI DALAM PERISTIWA KELAHIRAN YESUS
“Sekarang, Tuhan, biarkanlah hamba-Mu ini pergi dalam damai sejahtera, sesuai dengan firman-Mu, sebab mataku telah melihat keselamatan yang dari pada-Mu, yang telah Engkau sediakan di hadapan segala bangsa,” (Lukas 2:29-31)
Simeon dan Hana adalah dua tokoh Alkitab yang jarang diangkat sebagai figur penting dalam peristiwa Natal atau perayaan kelahiran Yesus Kristus. Namun, keduanya memiliki peran yang sangat berarti dalam kisah tersebut.
Simeon dan Hana muncul setelah Yesus berusia delapan hari, ketika Ia dibawa ke Bait Allah untuk disunat dan dipersembahkan kepada Tuhan, sesuai dengan hukum Taurat. Dipimpin oleh Roh Kudus, Simeon datang ke Bait Allah pada waktu yang sama. Di sanalah ia menyatakan bahwa Yesus adalah keselamatan yang telah lama dinantikan.
Tak lama kemudian, hadir pula Hana — seorang nabiah, anak Fanuel, dari suku Asyer. Ia yang sudah berusia 84 tahun, tidak pernah meninggalkan Bait Allah, tetapi senantiasa beribadah, berpuasa, dan berdoa siang malam. Ketika melihat bayi Yesus, Hana bersyukur kepada Allah dan dengan penuh semangat menceritakan tentang Yesus kepada banyak orang.
Sangat jelas bahwa pengakuan Simeon tentang Yesus sebagai keselamatan yang dinantikan itu lahir dari ketulusan hatinya. Ia dikenal sebagai orang saleh, kudus, dan setia. Pengakuannya melanjutkan kesaksian para gembala yang sebelumnya telah menyaksikan bayi Yesus terbaring di palungan dan menceritakan pertemuan mereka dengan malaikat serta bala tentara surga kepada Maria.
Dengan demikian, ketulusan hati menjadi benang merah yang menyatukan semua tokoh dalam peristiwa kelahiran Yesus — para gembala, Simeon, Hana, bahkan Maria, Yusuf, Zakaria, dan Elisabet. Mereka semua menyatakan iman dan sukacita mereka dengan hati yang murni dan tulus.
Tak ketinggalan, para majus yang datang dari Timur pun menunjukkan ketulusan mereka. Mereka mengikuti petunjuk bintang, datang untuk menyembah, dan mempersembahkan hadiah-hadiah berharga kepada bayi Yesus — emas, kemenyan, dan mur. Semua dilakukan dengan kerendahan hati dan ketulusan yang mendalam.
Oleh karena itu, ketulusan hendaklah menjadi dasar dalam setiap perbuatan dan ibadah kita, terlebih pada saat kita merayakan Natal. Sebab Natal bukan sekadar perayaan lahiriah, melainkan peringatan akan kasih Allah yang lahir di tengah dunia dalam kesederhanaan dan ketulusan.
Marilah kita merayakan Natal dengan sukacita yang tulus, sebagaimana para tokoh iman di sekitar kelahiran Yesus menunjukkan ketulusan hati mereka dalam menyembah, bersyukur, dan bersaksi tentang Sang Juruselamat. MT
Minggu 14 Desember 2025








