ANAK SAPI UNTUK TUHAN
Suatu hari seorang petani Kristen berkata kepada isterinya bahwa ia ingin memberikan suatu persembahan untuk pekerjaan Tuhan. Saat itu salah satu sapi betinanya sedang hamil dan beberapa hari lagi akan melahirkan. Karena itu ia berkata bahwa nanti ia akan mempersembahkan anak sapi itu kepada Tuhan.
Beberapa hari pun berlalu dan tibalah waktu bagi induk sapi itu untuk melahirkan. Ternyata, induk sapi itu melahirkan dua ekor anak sapi. Petani itupun menjadi bingung. Dia mulai berpikir-pikir anak sapi yang manakah yang akan dipersembahkannya kepada Tuhan. Ketika isterinya menanyakan hal itu, ia pun menjawab: “Biarkanlah anak-anak sapi itu bertumbuh lebih besar terlebih dahulu. Setelah mereka cukup besar, barulah akan kuputuskan anak sapi mana yang akan kupersembahkan kepada Tuhan.”
Seminggu kemudian daerah itu diserang wabah penyakit ternak. Salah satu dari kedua anak sapi milik petani Kristen itupun terjangkit penyakit tersebut dan tidak dapat diselamatkan alias mati. Ketika petani itu mendapati bahwa anak sapinya itu mati, ia segera keluar kandang dan lari menuju rumahnya serta berkata kepada isterinya: “Bu, aku baru saja dari kandang dan kudapati bahwa sapinya Tuhan mati.”
Isterinya pun keheranan dan bertanya: “Apa? Sapinya Tuhan? Bukankah engkau belum memutuskan sapi mana yang hendak kau persembahkan?”
Petani itupun menjawab: “Ya, kemarin memang belum kuputuskan, tetapi tadi ketika aku berada di kandang telah kuputuskan bahwa yang mati itu adalah sapinya Tuhan.”
Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita. (2 Korintus 9:7)
Betapa seringnya kita berlaku seperti petani itu. Kita tidak mau memberikan yang terbaik bagi Tuhan. Ketika berada dalam kondisi yang buruk dan sengsara, kita datang kepada Tuhan. Akan tetapi, ketika kita berada dalam kondisi yang baik dan menyenangkan, kita pergi dan melupakan Tuhan. Ketika kita dapati bahwa anak kita kurang pandai dan kurang cerdas, kita dorong dia masuk sekolah Alkitab agar dapat melayani Tuhan. Akan tetapi, ketika kita dapati bahwa anak kita cukup pandai dan cerdas, kita dorong dia masuk fakultas lain agar dapat mengejar cita-citanya dan menjadi orang sukses. Kita mengambil yang terbaik bagi diri kita sendiri dan menyerahkan yang buruk kepada Tuhan.
Marilah kita merenungkan kembali kebesaran kasih Allah pada kita. Demi menyelamatkan kita yang berdosa ini, Allah rela menyerahkan Putra-Nya yang tunggal, yang sedemikian dikasihi-Nya, agar kita dapat beroleh hidup kekal (Yohanes 3:16). Demi membebaskan kita dari murka dan hukuman Allah yang dahsyat, Yesus rela merendahkan diri-Nya, menjelma menjadi manusia, dan mati secara terhina di atas kayu salib, untuk menebus segala dosa kita (Filipi 2:6-8). Allah telah mengaruniakan anugerah yang sedemikian besar dan tak ternilai harganya kepada kita.
Bila kita sungguh-sungguh menyadari anugerah Allah yang sedemikian besar itu, tentu kita akan dengan rela hati mempersembahkan seluruh hidup kita bagi kemuliaan-Nya. Kita tak akan segan-segan menyerahkan segala sesuatu yang kita miliki kepada-Nya sebagai ungkapan rasa syukur kita atas kebesaran anugerah-Nya. Kesadaran kita akan besarnya anugerah Allah dalam hidup kita mendorong kita memberikan yang terbaik bagi kemuliaan-Nya.
INDUK AYAM DAN TELUR AYAM
Ketika induk ayam sedang dengan sabar mengerami telurnya, ia berbincang dengan telur-telur itu, “Nak, di atas sana langit biru terbentang luas. Di taman terhampar bunga-bunga mawar merah yang harum, daun-daun hijau segar, semuanya indah. Itu, di sana juga ada pelangi!”
“Ah, Mama bohong! Aku hanya melihat kegelapan di sana-sini. Tidak ada yang indah sama sekali,” gerutu anak ayam di dalam telur.
Ketika hari mulai siang, induk ayam mulai merasa lapar, lalu menyantap makanan yang telah disediakan induk jantan. “Anakku sayang, ini ada makanan enak sekali rasanya,” kata induk ayam. “Tuh kan! Bohong lagi bohong lagi! Aku tidak merasakan kelezatan sedikit pun!” bantah anak ayam di dalam telur.
Keesokan harinya, ketika anak-anak ayam itu menetas, mereka mulai membuka matanya. Anak ayam itu pun berkata, “Lihat! Semua yang dikatakan mama ternyata benar. Ada langit biru yang luaaaas…. sekali, bunga mawar merah yang cantik dan harum, dan dedaunan segar yang hijau.”
Kemudian induk ayam mulai mengajari anak-anaknya makan dan anak ayam berkata lagi, “Hmmm benar, makanan ini sangat lezat Ma! Hmm, nyam… nyam… uenak… nyem sekali… em…”
Saat itu, anak-anak ayam mendengar burung-burung yang berkicau, mereka menyadari bahwa nyanyian burung-burung itu sangat indah. Ternyata banyak hal yang menakjubkan, yang sebelumnya telah diberitahukan oleh induk ayam dan tidak dipercayai oleh anak-anak ayam, namun sekarang telah terbukti.
Pesan Bijaksana:
Kita harus mempercayai setiap Firman dalam Alkitab. FirmanNya adalah pelita yang menerangi jalan kita. Firman Tuhan akan membimbing kita supaya menjadi orang yang baik. Tuhan berkata, “Berbahagialah orang yang tidak melihat, tetapi ia percaya!”
KISAH SI TUKANG CUKUR
Seorang konsumen datang ke tempat tukang cukur untuk memotong rambut merapikan brewoknya. Si tukang cukur mulai memotong rambut konsumennya dan mulailah terlibat pembicaraan yang mulai menghangat. Mereka membicarakan banyak hal dan berbagai variasi topik pembicaraan dan sesaat topik pembicaraan beralih tentang Tuhan. Si tukang cukur bilang, ”Saya tidak percaya Tuhan itu ada”. “Kenapa kamu berkata begitu ???” timpal si konsumen. “Begini, coba Anda perhatikan di depan sana, apa yang terjadi di jalanan itu menunjukkan bahwa Tuhan itu tidak ada? Katakan kepadaku, jika Tuhan itu ada, mengapa ada orang sakit??, mengapa ada anak terlantar??” “Jika Tuhan ada, pastilh tidak akan ada orang sakit ataupun kesusahan. Saya tidak dapat membayangkan bagaimana Tuhan Yang Maha Penyayang akan membiarkan ini semua terjadi.”
Si konsumen diam untuk berpikir sejenak, tapi tidak merespon karena dia tidak ingin memulai adu pendapat. Si tukang cukur menyelesaikan pekerjaannya dan si konsumen pergi meninggalkan tempat si tukang cukur. Beberapa saat setelah dia meninggalkan ruangan itu dia melihat ada orang di jalan dengan rambut yang panjang, berombak kasar (mlungker-mlungker, istilah Jawa-nya), kotor dan brewok yang tidak dicukur. Orang itu terlihat kotor dan tidak terawat.
Si konsumen balik ke tempat tukang cukur dan berkata,” Kamu tahu, sebenarnya TIDAK ADA TUKANG CUKUR.” Si tukang cukur tidak terima,” Kamu kok bisa bilang begitu ??”. “Saya di sini dan saya tukang cukur. Dan barusan saya mencukurmu!”. “Tidak!” elak si konsumen.
“Tukang cukur itu tidak ada, sebab jika ada, tidak akan ada orang dengan rambut panjang yang kotor dan brewokan seperti orang yang di luar sana,” Si konsumen menambahkan. “Ah tidak, tapi tukang cukur tetap ada!” sanggah si tukang cukur. “Apa yang kamu lihat itu adalah salah mereka sendiri, kenapa mereka tidak datang ke saya”, jawab si tukang cukur membela diri. “Cocok!” kata si konsumen menyetujui.” Itulah point utama-nya!.
Sama dengan Tuhan, Tuhan itu juga ada, tapi apa yang terjadi… orang-orang tidak mau datang kepada-Nya, dan tidak mau mencari-Nya dan hidup bersekutu dengan-Nya. Oleh karena itu banyak yang mengalami masalah dan tertimpa kesusahan di dunia ini.”
Carilah Tuhan dan hiduplah dalam persekutuan yang intim dengan-Nya.
BATU BESAR
Suatu hari seorang dosen sedang memberi kuliah tentang manajemen waktu pada para mahasiswa MBA. Dengan penuh semangat ia berdiri depan kelas dan berkata, “Okay, sekarang waktunya untuk quiz.” Kemudian ia mengeluarkan sebuah ember kosong dan meletakkannya di meja. Kemudian ia mengisi ember tersebut dengan batu sebesar sekepalan tangan. Ia mengisi terus hingga tidak ada lagi batu yang cukup untuk dimasukkan ke dalam ember. Ia bertanya pada kelas, “Menurut kalian, apakah ember ini telah penuh?” Semua mahasiswa serentak berkata, “Ya!”
Dosen bertanya kembali, “Sungguhkah demikian?” Kemudian,dari dalam meja ia mengeluarkan sekantung kerikil kecil. Ia menuangkan kerikil-kerikil itu ke dalam ember lalu mengocok-ngocok ember itu sehingga kerikil-kerikil itu turun ke bawah mengisi celah-celah kosong di antara batu-batu. Kemudian, sekali lagi ia bertanya pada kelas, “Nah, apakah sekarang ember ini sudah penuh?”
Kali ini para mahasiswa terdiam. Seseorang menjawab,”Mungkin tidak.”
“Bagus sekali,” sahut dosen. Kemudian ia mengeluarkan sekantung pasir dan menuangkannya ke dalam ember. Pasir itu berjatuhan mengisi celah-celah kosong antara batu dan kerikil. Sekali lagi, ia bertanya pada kelas, “Baiklah, apakah sekarang ember ini sudah penuh?”
“Belum!” sahut seluruh kelas.
Sekali lagi ia berkata, “Bagus. Bagus sekali.” Kemudian ia meraih sebotol air dan mulai menuangkan airnya ke dalam ember sampai ke bibir ember. Lalu ia menoleh ke kelas dan bertanya, “Tahukah kalian apa maksud illustrasi ini?”
Seorang mahasiswa dengan semangat mengacungkan jari dan berkata, “Maksudnya adalah, tak peduli seberapa padat jadwal kita, bila kita mau berusaha sekuat tenaga maka pasti kita bisa mengerjakannya.”
“Oh, bukan,” sahut dosen, “Bukan itu maksudnya. Kenyataan dari illustrasi mengajarkan pada kita bahwa: bila kita tidak memasukkan “batu besar” terlebih dahulu, maka kita tidak akan bisa memasukkan semuanya.”
Apa yang dimaksud dengan “batu besar” dalam hidup saudara? Anak-anak saudara; Pasangan saudara; Pendidikan saudara; Hal-hal yang penting dalam hidup saudara : Mengajarkan sesuatu pada orang lain; Melakukan pekerjaan yang kau cintai; Waktu untuk diri sendiri; Kesehatan; Teman; atau semua yang berharga.
Ingatlah untuk selalu memasukkan “Batu Besar” pertama kali atau saudara akan kehilangan semuanya. Bila saudara mengisinya dengan hal-hal kecil (semacam kerikil dan pasir) maka hidup akan penuh dengan hal-hal kecil yang merisaukan dan ini semestinya tidak perlu. Karena dengan demikian tidak akan pernah memiliki waktu yang sesungguhnya saudara perlukan untuk hal-hal besar dan penting.
Oleh karena itu, setiap pagi atau malam, ketika akan merenungkan cerita, tanyalah pada diri kita sendiri: “Apakah “Batu Besar” dalam hidup saya?” Lalu kerjakan itu pertama kali.”
BUAH KESABARAN
Ada dua orang pendaki gunung yang sudah mendaki sampai setengah tebing sebuah gunung. Pada awalnya mereka tampak sangat bersemangat dan memulai pendakian dengan penuh keyakinan. Namun pada pertengahan jalan, mereka mulai kelelahan.
Pendaki yang pertama memutuskan untuk berhenti mendaki karena dirasa kekuatannya sudah tidak memungkinkan untuk menyelesaikan pendakian hingga ke puncak. Pendaki pertama merasa tidak mampu menakhlukkan sebuah gunung.
Berbeda halnya dengan pendaki yang kedua. Meski pun lelah ia tetap berusaha untuk menyelesaikan pendakiannya. Ia tetap yakin bahwa gunung itu akan berada di bawah kakinya. Dengan penuh kesabaran, ia mulai memijakkan kaki pada batu-batu yang terjal dan tajam sampai pada akhirnya gunung pun ia taklukkan.
Dalam sebuah perjalanan hidup, kita pasti akan menemui sebuah gunung-gunung yang menghadang langkah kita. Banyak orang yang menyerah terlebih dahulu tanpa sedikit pun mencoba untuk melewatinya. Orang yang sabar dengan setiap masalah yang terjadi dalam hidupnya dan selalu yakin bahwa ia dapat melaluinya adalah ciri-ciri seorang pemenang.
Tidak ada gunung yang tidak dapat ditaklukkan. Tidak ada masalah yang tidak dapat diselesaikan. Dalam setiap perlombaan pasti akan ada garis finisnya. Dan apabila kita hidup di dalam Tuhan, maka bersiaplah untuk menjadi pemenang dalam semua tantangan.
“Akhir suatu hal lebih baik dari pada awalnya. Panjang sabar lebih baik dari pada tinggi hati” (Pengkhotbah 7:8)