Jumat 13 September 2019
FIRMAN BUKAN PENGALAMAN
2 Raja-raja 25; Habakuk 2; 2 Korintus 11
Ayat Mas / Renungan
2 Korintus 11:5-6 Tetapi menurut pendapatku sedikit pun aku tidak kurang dari pada rasul-rasul yang tak ada taranya itu. “Jikalau aku kurang paham dalam hal berkata-kata, tidaklah demikian dalam hal pengetahuan; sebab kami telah menyatakannya kepada kamu pada segala waktu dan di dalam segala hal.”
Masalah teologia yang menyetarakan pengalaman pribadi dengan kebenaran firman Allah ternyata bukanlah hal yang baru. Dan boleh disimpulkan bahwa hal ini akan selalu ada dalam gereja Tuhan sepanjang sejarah. Mulai perkembangan Gereja Tuhan dalam pelayanan dan kepemimpinan rasul-rasul dan sampai sekarang masalah Teologia ini sudah terjadi. Salah seorang yang menjadi korbannya adalah pelayanan Rasul Paulus di Korintus. Maraknya para pemberita Injil yang menempatkan pengalaman pribadi setara bahkan melebihi kebenaran firman Allah hampir sudah menyingkirkan pelayanan para rasul rasul. Rasul Paulus melihat bahaya dari para pemberita Injil dan rasul-rasul palsu ini. Faktanya mereka biasanya fasih berkata-kata hingga Rasul Paulus menyebut mereka rasul-rasul yang tiada tara. Karena menempatkan pengalaman pribadi setara dengan firman Allah maka Rasul Paulus pun menjelaskan bahwa Injil yang mereka beritakan adalah Injil yang lain. Injil yang lain adalah istilah yang diperhalus untuk Injil yang palsu.
Injil yang lain karena mencampuradukkan pengalaman pribadi dengan kebenaran Injil betul-betul sangat menarik. Itulah sebabnya sangat banyak orang percaya dan terseret. Rasul Paulus merasa terpanggil untuk meluruskan masalah tersebut. Rasul Paulus mengatakan dan memberi pengakuan bahwa dirinya bukanlah seorang yang fasih berbicara seperti para rasul palsu yang juga memberitakan Injil palsu tersebut. Tetapi dalam hal pengetahuan atau pemahaman akan kebenaran Injil Paulus memastikan dirinya lebih unggul dari para pemberita Injil yang menjadikan pengalaman pribadi sebagai kebenaran. Selanjutnya Rasul Paulus pun menjelaskan pengalaman pribadinya kepada Jemaat di Korintus. Rasul Paulus ingin pembaca tahu pengalaman pribadinya jauh lebih banyak dan lebih bernilai dari pengalaman pribadi dari para rasul palsu tersebut. Tetapi Rasul Paulus tidak pernah menempatkan pengalaman pribadinya sebagai standar kebenaran. Rasul Paulus pun tidak tergoda menjadikan pengalaman pribadinya dalam Kristus sebagai tanda kerohaniannya lebih tinggi dari orang percaya lainnya. Dia pun tidak menjadikannya sebagai jasa yang perlu diakui dan dihormati. Justru dia bermegah karena punya kesempatan menderita bersama Kristus. Dia juga tidak menjadikan pengalaman itu sebagai keunggulan pelayanannya dari yang lain karena baginya semuanya itu sebagai kehormatan karena diberi kesempatan terlibat dalam pemberitaan Injil. (MT)
Pengalaman spiritual itu penting tapi tak memadai dijadikan standar kebenaran.