PESAN MINGGU INI 04 JANUARI 2026
ALLAH HADIR UNTUK MENYELAMATKAN KELUARGA
“Ia akan melahirkan anak laki-laki dan engkau akan menamakan Dia Yesus, karena Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka.” Hal itu terjadi supaya genaplah yang difirmankan Tuhan oleh nabi:” (Matius 1:21-23)
Lembaga pertama yang dibangun Allah bukanlah lembaga gereja ataupun lembaga negara, melainkan lembaga keluarga. Sebagai lembaga pertama dan terkecil, keluarga sangat penting bagi Allah, sehingga harus juga menjadi hal yang penting bagi umat-Nya. Berhubungan dengan hal itu, lembaga pertama yang terdampak akibat dosa pun adalah keluarga.
Adam dan Hawa menerima hukuman akibat dosa, yaitu maut atau keterpisahan dari Allah. Hukuman ini berlaku bagi seluruh manusia sepanjang zaman. Ada pula hukuman langsung yang harus diterima Adam dan Hawa, yaitu harus bersusah payah dan menderita dalam mencari nafkah. Keluarga Adam dan Hawa harus dibangun dengan perjuangan keras serta kesanggupan menghadapi berbagai pencobaan yang datang tanpa harus dicari.
Setelah anggota keluarga bertambah dengan kelahiran Kain dan Habel, masalah kembali muncul. Ketika mereka bertumbuh besar, terjadilah pertikaian akibat iri hati yang tidak terselesaikan, sehingga terjadi pembunuhan. Namun demikian, Allah tetap berinisiatif untuk melanjutkan kelangsungan keluarga. Kematian Habel, sebagai bukti nyata adanya kematian, direspons Allah dengan menghukum Kain dan memberikan Set sebagai pengganti Habel.
Walaupun manusia telah jatuh dalam dosa, Allah tetap memakai keluarga untuk melanjutkan kehidupan manusia. Injil Matius menyatakan bahwa Yesus datang untuk menyelamatkan manusia dari hukuman dosa, dan keselamatan itu berlaku serta terbuka bagi semua orang. Yesus hadir dengan nama Imanuel, karena di dalam diri-Nya Allah menyertai manusia. Janji Yesus sebelum Ia naik ke surga adalah, “Aku menyertai kamu sampai kepada kesudahan zaman.” Dalam hal ini, Allah di dalam Yesus Kristus selalu menyertai orang percaya.
Ia hadir untuk menyertai umat-Nya, dan Ia hadir melalui sebuah keluarga, yaitu Yusuf dan Maria. Hal ini menjelaskan dengan sangat jelas bahwa Ia datang untuk menyelamatkan keluarga dan menyertai semua keluarga orang percaya. Karena itu, setiap orang percaya hendaklah menaruh iman kepada-Nya dan membuka hati untuk hidup selalu dalam penyertaan Allah. Semua keluarga umat Tuhan hendaklah senantiasa menyambut kehadiran-Nya, sebab Ia datang untuk menyelamatkan dan menyertai keluarga. MT
Minggu 04 Januari 2026
PESAN MINGGU INI 28 DESEMBER 2025
MENINGGALKAN TAHUN YANG BURUK
“Akan tetapi, saudara-saudaraku yang kekasih, yang satu ini tidak boleh kamu lupakan, yaitu, bahwa di hadapan Tuhan satu hari sama seperti seribu tahun dan seribu tahun sama seperti satu hari.” (2 Petrus 3:8)
Setiap tanggal 31 Desember, kita biasanya meninggalkan tahun yang lama. Oleh sebagian suku di Indonesia, tahun yang lama disebut sebagai “tahun yang buruk.” Istilah “tahun yang buruk” dianalogikan dengan benda seperti sepatu atau pakaian yang sudah lama dibeli lalu dipakai—semakin lama dipakai, semakin buruk kondisinya. Karena itu, tahun yang lama disebut sebagai tahun yang buruk.
Ada juga kelompok masyarakat yang menyebutnya sebagai “tahun yang lewat,” dalam pengertian tahun yang sudah dilewati. Jadi, tahun yang buruk itu telah dilewati dan karena itu ditutup saja, maka muncullah istilah “tutup tahun.” Bila kemudian diadakan ibadah syukur tutup tahun, artinya bagaimana pun kondisi tahun yang sudah dilewati, tetap harus disyukuri, karena di dalam Yesus kita diajar untuk mengucap syukur atas segala sesuatu.
Namun, kita juga perlu merenungkan waktu atau tahun-tahun yang kita lewati dengan tepat, dengan bercermin pada firman Tuhan yang dinyatakan oleh Rasul Petrus: “Di hadapan Tuhan satu hari sama seperti seribu tahun, dan seribu tahun sama seperti satu hari.” Bila dipahami dengan teliti, hal itu berarti bahwa bila manusia menghitung waktu seribu tahun, bagi Allah itu hanya satu hari. Sebaliknya, bila Allah menghitung waktu seribu tahun, bagi manusia itu seperti satu hari. Ini menunjukkan bahwa Allah tidak terikat oleh waktu, sedangkan manusia sangat terikat oleh waktu.
Allah memandang waktu dari sudut kekekalan, suatu perspektif yang tidak dapat dipahami oleh keterbatasan manusia. Itulah sebabnya Allah dapat menyelesaikan pekerjaan satu hari yang, menurut manusia, seharusnya dikerjakan seribu tahun. Tetapi Allah juga dapat menyelesaikan pekerjaan seribu tahun—pekerjaan yang menurut manusia bisa dilakukan dalam satu hari. Dalam hal ini, Allah berkarya tanpa terikat oleh keinginan manusia, karena Dia berdaulat penuh dalam bekerja untuk kebaikan umat-Nya.
Karena itu, dalam meninggalkan tahun lama yang disebut “tahun buruk,” marilah kita menutupnya dengan rasa syukur kepada Allah yang tidak terikat waktu, tetapi yang memberikan waktu bagi kita untuk dilewati setahun demi setahun. Dan perlu kita pahami bahwa walaupun Allah tidak terikat oleh waktu, Dia terikat oleh janji-janji-Nya kepada umat-Nya. Bila Dia berjanji menyertai kita sampai akhir zaman, berarti Dia akan menyertai hari demi hari dan tahun demi tahun.
Jadi, tutup tahun adalah meninggalkan yang buruk dan menyongsong yang baru. Buruk karena sudah lama dan terlewati; baru karena awal yang segar dan terus melaju. MT
Minggu 28 Desember 2025
PESAN MINGGU INI 21 DESEMBER 2025
KETULUSAN DOA SEORANG IBU
“Untuk mendapat anak inilah aku berdoa, dan Tuhan telah memberikan kepadaku, apa yang kuminta dari pada-Nya. Maka aku pun menyerahkannya kepada Tuhan; seumur hidup terserahlah ia kiranya kepada Tuhan.” Lalu sujudlah mereka di sana menyembah kepada Tuhan.” (1 Samuel 1:27-28)
Hana tidak disebut secara khusus sebagai perempuan pendoa yang saleh. Namun demikian, melalui kisah kehidupannya, sangat tepat bila ia disebut sebagai ibu pendoa yang saleh. Ia adalah seorang ibu, istri Elkana, yang kecewa karena selalu dihina oleh Penina, madunya, sebab Hana tidak dikaruniai anak.
Alkitab menjelaskan bahwa Allah menutup kandungan Hana. Hal ini berarti kemandulan Hana merupakan tindakan langsung dari Allah. Tuhan mengizinkan Hana mengalami kekecewaan karena kondisi yang menimpanya. Namun, Hana meresponinya dengan baik. Ia terbentuk menjadi seorang ibu pendoa yang tekun.
Hal yang sama sering dialami oleh orang percaya. Tuhan kadang mengizinkan situasi sulit agar kita terbentuk menjadi pribadi yang sungguh-sungguh berdoa dan bergantung pada kehendak-Nya. Jadi, bila dalam perjalanan hidup Allah menuntun kita ke dalam situasi yang sulit, belajarlah untuk meresponinya dengan baik dan tepat. Sesungguhnya, Allah sedang menuntun kita ke dalam kondisi di mana kita merasa tidak mampu tanpa pertolongan-Nya.
Seperti Hana yang langsung berdoa dan menyerahkan kepedihan hati serta kekecewaannya kepada Tuhan, ia menjadi sosok beriman yang mengabdikan hidupnya dengan setia berdoa di bait Allah. Dengan sungguh-sungguh ia memohon anugerah Allah agar dikaruniai seorang anak. Ketika Allah mengabulkan doanya, anak itu diberi nama Samuel, yang berarti “anak yang diminta dari Allah.” Hana melanjutkan pengabdiannya dengan menepati nazarnya kepada Tuhan: ia menyerahkan Samuel untuk melayani di bait Allah di bawah pengasuhan Imam Eli.
Melalui perjalanan hidup Hana, sangat jelas terlihat kekuatan doa seorang ibu. Hana adalah seorang ibu yang tak henti-henti berdoa bagi anaknya. Samuel kemudian bertumbuh dewasa menjadi seorang imam.
Demikian pula dengan kisah Agustinus, seorang bapak gereja yang pada masa mudanya hidup dengan sangat buruk. Namun, ibunya, Monika, dengan tekun dan penuh kasih mendoakannya. Doa sang ibu tidak sia-sia — Agustinus akhirnya bertobat, menjadi bapak gereja yang baik, dan seorang teolog ternama.
Dalam banyak kesaksian, para hamba Tuhan sering mengangkat tokoh seorang ibu yang berdoa bagi anak-anaknya. Doa seorang ibu mampu membawa perubahan besar, bahkan menjadikan anak-anaknya pelayan Tuhan. Doa seorang ibu adalah sesuatu yang sangat kuat, karena didasari oleh kasih yang besar kepada anak-anaknya. MT
Minggu 21 Desember 2025
PESAN MINGGU INI 14 DESEMBER 2025
KETULUSAN DI DALAM PERISTIWA KELAHIRAN YESUS
“Sekarang, Tuhan, biarkanlah hamba-Mu ini pergi dalam damai sejahtera, sesuai dengan firman-Mu, sebab mataku telah melihat keselamatan yang dari pada-Mu, yang telah Engkau sediakan di hadapan segala bangsa,” (Lukas 2:29-31)
Simeon dan Hana adalah dua tokoh Alkitab yang jarang diangkat sebagai figur penting dalam peristiwa Natal atau perayaan kelahiran Yesus Kristus. Namun, keduanya memiliki peran yang sangat berarti dalam kisah tersebut.
Simeon dan Hana muncul setelah Yesus berusia delapan hari, ketika Ia dibawa ke Bait Allah untuk disunat dan dipersembahkan kepada Tuhan, sesuai dengan hukum Taurat. Dipimpin oleh Roh Kudus, Simeon datang ke Bait Allah pada waktu yang sama. Di sanalah ia menyatakan bahwa Yesus adalah keselamatan yang telah lama dinantikan.
Tak lama kemudian, hadir pula Hana — seorang nabiah, anak Fanuel, dari suku Asyer. Ia yang sudah berusia 84 tahun, tidak pernah meninggalkan Bait Allah, tetapi senantiasa beribadah, berpuasa, dan berdoa siang malam. Ketika melihat bayi Yesus, Hana bersyukur kepada Allah dan dengan penuh semangat menceritakan tentang Yesus kepada banyak orang.
Sangat jelas bahwa pengakuan Simeon tentang Yesus sebagai keselamatan yang dinantikan itu lahir dari ketulusan hatinya. Ia dikenal sebagai orang saleh, kudus, dan setia. Pengakuannya melanjutkan kesaksian para gembala yang sebelumnya telah menyaksikan bayi Yesus terbaring di palungan dan menceritakan pertemuan mereka dengan malaikat serta bala tentara surga kepada Maria.
Dengan demikian, ketulusan hati menjadi benang merah yang menyatukan semua tokoh dalam peristiwa kelahiran Yesus — para gembala, Simeon, Hana, bahkan Maria, Yusuf, Zakaria, dan Elisabet. Mereka semua menyatakan iman dan sukacita mereka dengan hati yang murni dan tulus.
Tak ketinggalan, para majus yang datang dari Timur pun menunjukkan ketulusan mereka. Mereka mengikuti petunjuk bintang, datang untuk menyembah, dan mempersembahkan hadiah-hadiah berharga kepada bayi Yesus — emas, kemenyan, dan mur. Semua dilakukan dengan kerendahan hati dan ketulusan yang mendalam.
Oleh karena itu, ketulusan hendaklah menjadi dasar dalam setiap perbuatan dan ibadah kita, terlebih pada saat kita merayakan Natal. Sebab Natal bukan sekadar perayaan lahiriah, melainkan peringatan akan kasih Allah yang lahir di tengah dunia dalam kesederhanaan dan ketulusan.
Marilah kita merayakan Natal dengan sukacita yang tulus, sebagaimana para tokoh iman di sekitar kelahiran Yesus menunjukkan ketulusan hati mereka dalam menyembah, bersyukur, dan bersaksi tentang Sang Juruselamat. MT
Minggu 14 Desember 2025
PESAN MINGGU INI 07 DESEMBER 2025
KRISTUS SANG PEMBAWA DAMAI
“Dan tiba-tiba tampaklah bersama-sama dengan malaikat itu sejumlah besar bala tentara sorga yang memuji Allah, katanya: ”Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya” (Lukas 2:13-14)
Para gembala mendapatkan kehormatan istimewa dari Allah ketika malaikat datang membawa kabar sukacita tentang kelahiran Yesus. Hal itu tentu tak pernah terbayangkan oleh para gembala yang hidup sederhana dan penuh pergumulan. Mereka bukan hanya menerima berita kelahiran dari seorang malaikat, tetapi juga menyaksikan kemuliaan surgawi — mendengar pujian para malaikat dan sejumlah besar bala tentara surga yang memuliakan Allah.
Salah satu kalimat dari pujian surgawi itu berbunyi: “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi, dan damai di bumi.” Kalimat itu sungguh menyentuh hati para gembala, sehingga mereka segera berangkat dengan penuh semangat untuk menemui bayi Yesus di kandang domba di Betlehem. Mereka tidak menunda, sebab mereka percaya bahwa kelahiran Sang Juruselamat membawa damai bagi dunia.
Setelah bertemu dengan bayi Yesus, para gembala kembali ke padang dengan hati yang penuh damai dan sukacita, sambil memuliakan Allah. Mereka merasakan bahwa damai yang dibawa Yesus bukan sekadar damai secara lahiriah atau politis, melainkan damai sejati yang berasal dari Allah sendiri. Yesus benar-benar datang untuk membawa damai yang sejati, damai yang meliputi seluruh kehidupan manusia. Dalam Yesus, kita mengalami tiga bentuk damai yang utuh:
-
- Damai dengan Allah. Yesus datang sebagai Juru Damai yang memulihkan hubungan antara manusia berdosa dengan Allah. Setiap orang yang percaya dan menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat diangkat menjadi anak-anak Allah. Dalam Yesus, hubungan dengan Allah menjadi indah, hidup, dan penuh damai.
- Damai dengan diri sendiri. Para gembala belajar menerima diri mereka apa adanya — sebagai gembala yang sederhana, namun kini berharga di hadapan Allah. Mereka bahagia karena tahu bahwa mereka milik Yesus. Dalam Yesus, kita pun belajar berdamai dengan diri sendiri, hidup tanpa rasa takut atau rendah diri.
- Damai dengan sesama. Orang yang telah mengalami kasih Kristus akan memiliki kemampuan untuk mengasihi orang lain. Kasih Allah yang kita terima di dalam Yesus menjadi dasar dan jaminan hidup yang penuh damai dengan sesama.
Jadi, jika di dalam Yesus kita mengalami kasih Allah, maka di dalam Yesus pula kita dimampukan untuk hidup dalam damai dan mengasihi sesama. Itulah damai sejati yang dijanjikan Allah — bukan hanya untuk para gembala di Betlehem, tetapi juga untuk kita semua yang percaya kepada-Nya. MT
Minggu 07 Desember 2025
PESAN MINGGU INI 30 NOVEMBER 2025
KETULUSAN VS KEPURA-PURAAN
“Hendaklah kasih itu jangan pura-pura! Jauhilah yang jahat dan lakukanlah yang baik. Hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara dan saling mendahului dalam memberi hormat” (Roma 12:9-10)
Saling mengasihi adalah perintah Tuhan kepada gereja-Nya dalam membangun hubungan di dalam komunitas orang percaya. Kasih yang diperintahkan itu adalah kasih yang lahir dari hati yang tulus, bukan kepura-puraan atau kemunafikan.
Faktanya, tidak sedikit orang yang tampak mengasihi, namun sebenarnya hanya berpura-pura. Dengan manis mulutnya mengatakan “aku mengasihi”, tetapi hatinya masih menyimpan kebencian. Padahal, kasih yang sejati adalah kasih yang tulus, bukan kasih yang dibuat-buat. Mengasihi adalah nilai hidup yang tidak boleh dijalankan dengan kepura-puraan, sebab ketulusan adalah lawan dari kemunafikan.
Jika seseorang berbuat kebaikan tanpa ketulusan, maka perbuatannya hanyalah kemunafikan. Orang yang berbuat baik tanpa tulus biasanya memiliki berbagai tujuan tersembunyi: ingin dipuji, berharap imbalan, atau bahkan ingin menguasai dan mengatur orang yang menjadi objek perbuatannya. Bila harapannya tidak terpenuhi, ia akan merasa kecewa.
Berbeda halnya dengan orang yang berbuat kebaikan dengan ketulusan. Ia tidak mencari kehormatan atau keuntungan pribadi, melainkan tulus ingin menolong dan membahagiakan orang lain.
Rasul Paulus mengajarkan bahwa ada dua hal yang harus dilakukan dengan ketulusan, yaitu saling mengasihi dan saling mendahului dalam memberi hormat. Dalam komunitas orang percaya, hendaklah setiap anggota saling mengasihi dengan tulus hati. Bila kasih itu dilandasi ketulusan, pasti tercipta kehidupan bersama yang indah dalam komunitas tersebut.
Demikian pula, bila setiap orang berusaha saling mendahului dalam menghormati dengan ketulusan, hubungan antar anggota akan menjadi hidup, akrab, dan menyenangkan. Sebaliknya, jika hubungan dibangun atas dasar kepura-puraan, maka yang muncul hanyalah kemunafikan yang merugikan diri sendiri dan merusak kebersamaan.
Karena itu, ketulusan menghasilkan kemenangan dan kesatuan, sedangkan kepura-puraan membawa kekalahan dan kehancuran. MT
Minggu 30 November 2025
PESAN MINGGU INI 23 NOVEMBER 2025
MEMENANGKAN JIWA-JIWA DENGAN KETULUSAN
“Sungguhpun aku bebas terhadap semua orang, aku menjadikan diriku hamba dari semua orang, supaya aku boleh memenangkan sebanyak mungkin orang.” (1 Korintus 9:19)
Menjangkau jiwa-jiwa bagi Kristus merupakan cita-cita dan harapan mulia bagi setiap orang percaya. Memenangkan jiwa-jiwa bagi Kristus adalah perintah langsung dari Tuhan Yesus kepada semua pengikut-Nya.
Memenangkan jiwa tidak berarti “mengalahkan” orang lain, melainkan membawa mereka kepada keselamatan di dalam Kristus. Rasul Paulus mengangkat kehidupannya sendiri sebagai teladan tentang prinsip-prinsip dalam memenangkan jiwa melalui penyangkalan diri demi keselamatan orang lain.
Dalam usaha memenangkan jiwa bagi Kristus, terkadang seseorang perlu rela melepaskan haknya dan mempertimbangkan status maupun keyakinan orang yang hendak dijangkau. Paulus berkata, “Sungguhpun aku orang merdeka, aku menjadikan diriku hamba dari semua orang.” (1 Korintus 9:19).
Seorang pengikut Kristus perlu merendahkan hati dengan tulus, agar tidak membatasi diri dalam menjangkau jiwa-jiwa. Walaupun seseorang berada pada strata sosial yang tinggi, ia perlu memposisikan dirinya pada tempat yang rendah supaya memiliki kesempatan untuk menjangkau lebih banyak orang bagi Kristus.
Sikap merendahkan diri hendaklah dilakukan dengan ketulusan hati, bukan sebagai bentuk pencitraan. Rasul Paulus tidak mengorbankan prinsip-prinsip kekristenan demi menyesuaikan diri, tetapi ia menerima kenyataan demi memenangkan jiwa bagi Kristus. Ia siap menyesuaikan diri untuk menghormati keyakinan orang lain tanpa melanggar prinsip iman.
Untuk memenangkan orang Yahudi, Paulus menjadi seperti orang Yahudi. Namun, ia tidak pernah kembali kepada Yudaisme. Menjadi seperti orang Yahudi berarti taat kepada hukum Taurat—khususnya hukum moral dan sosial—tanpa terikat pada hukum ibadah yang berhubungan dengan keselamatan.
Menghamba secara tulus demi memenangkan jiwa bagi Kristus adalah hal yang mulia. Menghamba berarti merendahkan diri dan memposisikan diri lebih rendah dari orang yang hendak dijangkau.
Salah satu makna “memenangkan” adalah memberi kemenangan, bukan mengalahkan. Dengan demikian, memenangkan jiwa berarti menolong seseorang keluar dari kuasa dosa dan membawa mereka kepada kemenangan sejati di dalam Yesus Kristus. MT
Minggu 23 November 2025
PESAN MINGGU INI 16 NOVEMBER 2025
MENJADI TERANG
“Bangkitlah, menjadi teranglah, sebab terangmu datang, dan kemuliaan Tuhan terbit atasmu. Sebab sesungguhnya, kegelapan menutupi bumi, dan kekelaman menutupi bangsa-bangsa; tetapi terang Tuhan terbit atasmu, dan kemuliaan-Nya menjadi nyata atasmu. Bangsa-bangsa berduyun-duyun datang kepada terangmu, dan raja-raja kepada cahaya yang terbit bagimu.” (Yesaya 60:1-3)
Nabi Yesaya menegur umat Allah karena kebutaan rohani mereka terhadap jalan-jalan Tuhan. Kebutaan rohani itu membuat umat berjalan dalam kegelapan, meraba-raba tanpa arah, seperti orang buta tanpa tongkat dan penuntun. Karena itu, Yesaya menyerukan agar umat Tuhan bangkit dan menjadi terang, untuk menghalau kegelapan yang meliputi bumi.
Fokus utama pemberitaan Yesaya adalah keagungan Allah yang kontras dengan kelemahan dan ketidaksetiaan umat-Nya. Namun demikian, Allah tetap setia pada janji-Nya untuk menjadikan umat-Nya sebagai terang bagi bangsa-bangsa. Allah menghargai doa syafaat dan kesetiaan sebagian kecil umat yang tetap hidup benar di hadapan-Nya di tengah-tengah generasi yang berpaling dari Allah.
Sesuai dengan arti namanya, Yesaya—yang berarti Tuhan menyelamatkan—ia disebut nabi penyelamat, sebab seluruh pemberitaannya menegaskan bahwa keselamatan berasal dari Tuhan. Yesaya sering disebut juga sebagai nabi Injili, karena nubuat-nubuatnya tentang kedatangan Yesus Kristus sebagai Juruselamat begitu lengkap dan mendetail.
Melalui nubuatnya, terang yang diserukan Yesaya pada zamannya merupakan kenyataan rohani yang digenapi sepenuhnya dalam diri Yesus Kristus. Dialah Terang Dunia, yang datang untuk menyelamatkan manusia dari kegelapan dosa. Yesus menjadi jalan, kebenaran, dan hidup, agar setiap orang yang percaya kepada-Nya berjalan dalam terang yang menuntun kepada keselamatan dan kehidupan kekal.
Perintah untuk menjadi terang bagi bangsa-bangsa kini berlaku bagi gereja Tuhan di seluruh dunia. Setiap orang percaya dipanggil dan diutus untuk memancarkan terang Kristus, menghadirkan kasih, kebenaran, dan keselamatan bagi mereka yang masih hidup dalam kegelapan.
Sebagaimana Allah memanggil umat-Nya di zaman Yesaya, demikian pula hari ini Ia memanggil kita: “Bangkitlah, menjadi teranglah, sebab terangmu datang.” MT
Minggu 16 November 2025
PESAN MINGGU INI 09 NOVEMBER 2025
KETULUSAN DAN KEJUJURAN MEMBAWA KESELAMATAN
“Maksud semuanya itu ialah untuk membuktikan kemurnian imanmu – yang jauh lebih tinggi nilainya dari pada emas yang fana, yang diuji kemurniannya dengan api – sehingga kamu memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya.” (1 Petrus 1:7)
Kemurnian iman terbentuk melalui ketulusan dan kejujuran dalam menjalani kehidupan sebagai umat beriman. Umat Tuhan yang hidup dengan dasar ketulusan dan kejujuran akan memperoleh kehormatan dari Tuhan dan juga dari sesama. Setiap orang percaya yang hidup dalam kebenaran dan ketulusan akan mengalami fakta pertolongan Allah dalam kehidupan sehari-hari. Pertolongan Allah yang nyata itulah yang membawa kehormatan sejati. Kejujuran dan ketulusan lahir dari sikap mengenal dan menghormati Allah, yang selalu hadir untuk menolong, mengawasi, serta menuntun umat-Nya. Umat yang menjalani kehidupan iman dengan hati yang tulus—baik dalam perkataan maupun perbuatan—akan senantiasa terpelihara dalam kekuatan Allah. Kejahatan tidak akan mampu mencelakakan mereka, sebab kejahatan pasti dikalahkan oleh kebaikan dan kebenaran.
Allah akan selalu melindungi dengan kasih karunia dan kuasa-Nya orang-orang yang hidup dalam iman yang tulus dan benar. Dengan ketulusan hati, umat beriman akan terus berjuang membuktikan kemurnian imannya. Ketulusan dan kejujuran memang tidak selalu dihargai oleh manusia, namun pada akhirnya akan membawa kehormatan yang sejati . Rasul Petrus menulis surat ini kepada umat Tuhan yang sedang menghadapi penganiayaan. Banyak di antara mereka yang mulai berlaku tidak jujur karena berusaha menyembunyikan identitasnya sebagai pengikut Kristus. Melalui suratnya, Rasul Petrus memberikan dorongan dan penguatan agar mereka tetap tulus dan berani menyatakan diri sebagai murid Kristus untuk membuktikan kemurnian iman mereka.
Umat yang tulus dalam imannya akan tetap kuat dan bersukacita di tengah berbagai pencobaan. Allah mengizinkan pencobaan datang untuk memurnikan iman umat-Nya. Hanya mereka yang menjalani kehidupan iman dengan tuluslah yang mampu bertahan dan tetap setia kepada Kristus.
Kesetiaan kepada Kristus akan menghasilkan pujian dan kehormatan, baik bagi diri umat itu sendiri maupun bagi Tuhan. Dengan demikian, jelaslah bahwa kehidupan iman yang didasari kejujuran dan ketulusan hati tidak akan tergoyahkan oleh apa pun atau siapa pun. Setiap pencobaan yang datang justru akan memurnikan iman dan meneguhkan pengharapan.
Tuhan memandang ketabahan dan kesetiaan dalam menghadapi pencobaan sebagai nilai kehidupan yang sangat berharga. Bila umat-Nya dinilai berharga di hadapan Tuhan, maka sudah pasti mereka akan menerima kehormatan dari-Nya. MT
Minggu 09 November 2025
PESAN MINGGU INI 02 NOVEMBER 2025
KETULUSAN SEBAGAI ESENSI MELAYANI
“Demikian juga orang-orang muda; nasihatilah mereka supaya mereka menguasai diri dalam segala hal dan jadikanlah dirimu sendiri suatu teladan dalam berbuat baik. Hendaklah engkau jujur dan bersungguh-sungguh dalam pengajaranmu.” (Titus 2:6-7)
Surat Rasul Paulus kepada sahabatnya, Titus, berisi nasihat dan petunjuk bagi para pemimpin serta pelayan jemaat. Sebagai pemimpin dan pelayan Tuhan, mereka harus berpegang teguh untuk hidup sebagai orang yang beriman kepada Allah, bukan sekadar beragama secara lahiriah.
Surat ini merupakan bentuk dukungan Paulus kepada Titus agar ia terus mengajarkan iman yang benar serta membimbing jemaat untuk berjuang hidup sesuai dengan kehendak Allah. Hal ini sangat penting guna mengantisipasi munculnya para pengajar dan pemberita Injil yang palsu.
Tugas penting yang harus segera dilakukan Titus untuk menghadapi para pengajar palsu adalah memilih dan menetapkan para penatua, serta memperlengkapi mereka agar hidup sesuai dengan pengajaran yang benar. Kehadiran para penatua ini terbukti efektif untuk menepis ajaran-ajaran palsu yang bertentangan dengan Injil Kristus.
Salah satu cara mengenali para pengajar palsu adalah melalui ketidaktulusan mereka dalam mengajar. Biasanya, para rasul atau pengajar palsu termotivasi untuk menarik orang menjadi pengikut mereka sendiri, bukan menjadi pengikut Kristus. Sebaliknya, Titus dan para penatua menjadikan kejujuran sebagai inti pelayanan mereka—melalui sikap menguasai diri, memberi teladan, dan bersungguh-sungguh mengajarkan kebenaran.
- Pertama, mereka memiliki penguasaan diri. Mereka tidak tergoda untuk mencari kesuksesan dengan cara yang salah atau dengan memalsukan ajaran Injil demi memperoleh banyak pengikut. Titus dan para penatua tetap konsisten mengajarkan kebenaran dan menuntun orang percaya menjadi pengikut Kristus yang sejati.
- Kedua, mereka memberi teladan. Mereka melaksanakan segala sesuatu yang mereka ajarkan. Bagi seorang pemberita Injil sejati, mengajarkan kebenaran harus selalu disertai dengan melakukan kebenaran.
- Ketiga, mereka bersungguh-sungguh dalam mengajarkan dan melakukan kebenaran Injil. Bersungguh-sungguh dalam mengajar juga berarti bersungguh-sungguh belajar. Mereka tidak merasa sudah mengetahui segalanya, tetapi menyadari bahwa masih banyak hal yang belum mereka pahami. Karena itu, mereka terus belajar dan setia melakukan apa yang telah mereka ajarkan serta sedang mereka pelajari.MT
Minggu 02 November 2025
PESAN MINGGU INI 26 OKTOBER 2025
HIDUP TULUS SEBAGAI SURAT YANG TERBUKA
“Karena telah ternyata, bahwa kamu adalah surat Kristus, yang ditulis oleh pelayanan kami, ditulis bukan dengan tinta, tetapi dengan Roh dari Allah yang hidup, bukan pada loh-loh batu, melainkan pada loh-loh daging, yaitu di dalam hati manusia.” (2 Korintus 3:3)
Sebelum Rasul Paulus menyatakan bahwa pengikut Kristus adalah “surat Kristus”, ia terlebih dahulu menegaskan bahwa pengikut Kristus adalah “surat pujian” bagi para rasul sejati.
Istilah “surat pujian” muncul karena pada masa itu marak beredar surat-surat rekomendasi yang dimiliki oleh rasul-rasul palsu. Mereka memperoleh surat pujian dari tokoh atau kelompok tertentu sebagai bentuk pengakuan atas kecerdasan dan keberhasilan mereka dalam memberitakan Injil. Namun, semua itu dilakukan demi mencari nama dan keuntungan, bukan dengan ketulusan hati maupun tujuan yang benar.
Berbeda dengan para rasul sejati, mereka tidak membutuhkan surat pujian berupa selembar kertas. Surat pujian mereka adalah jemaat yang setia kepada Injil. Mereka tidak mencari keuntungan ataupun pengakuan. Dasar pemberitaan mereka adalah ketulusan dengan tujuan yang murni, yaitu membawa orang berdosa kepada Kristus.
Untuk mempertegas hal ini, para rasul sejati menyatakan bahwa pengikut Kristus adalah “surat Kristus.” Sebagai surat Kristus, mereka tidak ditulis dengan tinta di atas selembar kertas, melainkan ditulis dengan Roh dari Allah yang hidup. Tulisan itu tidak terukir pada loh-loh batu, melainkan pada hati manusia. Inilah tulisan Kristus yang nyata dalam ketulusan iman para pengikut-Nya.
Sebagai surat Kristus, hidup orang percaya harus terbuka untuk dibaca semua orang. Manusia tidak dapat melihat ketulusan hati, sebab hanya Allah yang bisa membacanya. Yang dapat dibaca oleh sesama adalah perbuatan kita. Karena itu, perbuatan kitalah yang menjadi surat terbuka bagi dunia.
Maka, hendaklah perkataan dan perbuatan kita lahir dari hati yang tulus. Artinya, hati, kata, dan laku harus seirama agar menjadi surat terbuka yang indah dan menyenangkan untuk dibaca. Memang tidak mudah, tetapi juga tidak mustahil. Sering kali ketulusan justru mendapat penolakan, sementara kemunafikan lebih diterima sebagai bacaan yang menyenangkan. Namun demikian, berjuanglah dengan tekun untuk membentuk hidup yang tulus. MT
Minggu 26 Oktober 2025
PESAN MINGGU INI 19 OKTOBER 2025
MAKSIMAL HIDUP SEBAGAI GARAM DAN TERANG
“Justru karena itu kamu harus dengan sungguh-sungguh berusaha untuk menambahkan kepada imanmu kebajikan, dan kepada kebajikan pengetahuan, dan kepada pengetahuan penguasaan diri, kepada penguasaan diri ketekunan, dan kepada ketekunan kesalehan, dan kepada kesalehan kasih akan saudara-saudara, dan kepada kasih akan saudara-saudara kasih akan semua orang.” (2 Petrus 1:5-7)
Menjadi garam dan terang dunia bukanlah status yang otomatis diperoleh begitu seseorang percaya kepada Yesus. Garam dan terang dunia bukanlah sekadar status, melainkan suatu kualitas hidup yang hanya dapat dicapai melalui proses belajar yang panjang dan berkesinambungan.
Garam dan terang dunia nyata serta dapat terlihat melalui sifat-sifat baik dan perbuatan yang dipraktikkan oleh umat Tuhan. Sifat dan perbuatan baik itu harus terus dikembangkan dan dimaksimalkan. Selain sebagai status, menjadi garam dan terang dunia juga merupakan perintah yang tidak boleh diabaikan. Garam dan terang dunia harus diterima sebagai panggilan sekaligus pilihan. Semua umat Tuhan terpanggil untuk menjadi garam dan terang dunia, lalu secara sadar memilih hidup demikian.
Karena itu, hendaklah kita berusaha semaksimal mungkin supaya panggilan dan pilihan tersebut semakin teguh. Iman dan keselamatan adalah anugerah Tuhan, tetapi tidak boleh berhenti hanya pada percaya dan beroleh keselamatan. Iman dan keselamatan harus diisi dengan hidup sebagai garam dan terang dunia. Artinya, kita harus menjaga perilaku agar tidak bertentangan dengan firman Tuhan.
Sebagai terang dunia, kita hendaknya membangun diri agar bertindak dan berkarya sesuai dengan firman Tuhan. Rasul Petrus memberi perintah yang sangat tepat, yaitu memaksimalkan hidup sebagai garam dan terang dunia dengan menambahkan kepada iman keselamatan tujuh sifat utama: kebajikan, pengetahuan, penguasaan diri, ketekunan, kesalehan, kasih akan saudara, dan kasih akan semua orang.
Pertumbuhan dalam tujuh sifat ini tidak terjadi secara otomatis. Harus ada usaha yang disengaja dan sungguh-sungguh untuk terus mengembangkannya. Banyak umat Tuhan yang melalaikannya, sehingga bisa menggagalkan orang percaya masuk ke dalam Kerajaan Surga (1 Korintus 3:15).
Sebab itu, tidak ada cara lain selain terus memaksimalkan hidup sebagai garam dan terang dunia dengan berjuang setiap hari. MT
Minggu 19 Oktober 2025
PESAN MINGGU INI 05 OKTOBER 2025
KETULUSAN YANG MEMBAWA ORANG KEPADA KRISTUS
”Lihat, Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala, sebab itu hendaklah kamu cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati.” (Matius 10:16)
Setiap orang percaya adalah saksi Kristus yang terpanggil dan diutus untuk membawa orang lain kepada Kristus. Sebagai umat yang diutus, fokus berkarya seharusnya diarahkan ke tempat yang sulit, sebab Yesus mengumpamakannya seperti domba yang berada di tengah-tengah serigala.
Membawa jiwa kepada Kristus hampir mustahil bila mengandalkan kekuatan manusia. Namun, bila Kristus yang mengutus, pasti ada mujizat sebagai bukti penggenapan janji bahwa Ia senantiasa menyertai. Dari pihak yang diutus, tetap ada tanggung jawab untuk menjalankan tugas sebagai saksi Kristus dengan sikap cerdik dan tulus.
Membentuk diri agar menjadi pribadi yang cerdik dan tulus adalah sebuah proses yang membutuhkan pembelajaran terus-menerus, dilakukan secara serius dan berkesinambungan. Cerdik saja tidak cukup, tulus saja pun tidak memadai. Karena itu, keduanya harus berjalan seiring.
Ketulusan adalah nilai luhur Kekristenan, namun tidak cukup hanya dipahami; ketulusan harus dihidupi. Dalam berkarya, bersaksi, dan mengabdi, ketulusan harus menjadi dasar. Khususnya dalam bersaksi, ketulusan menuntun setiap saksi Kristus untuk membawa orang berdosa kepada Kristus, bukan kepada dirinya sendiri.
Sayangnya, ada banyak orang percaya yang bersaksi tanpa ketulusan, sehingga justru menarik orang kepada diri mereka, bukan kepada Kristus. Ketulusan dalam bersaksi pasti akan membawa jiwa-jiwa menjadi milik Kristus. Berbeda dengan kecerdikan atau kecerdasan dalam bersaksi tanpa ketulusan—hal itu cenderung membawa orang kepada pribadi sang pemberita, meski mengatasnamakan Kristus.
Para pengajar sesat atau penginjil palsu yang sudah ada sejak zaman para rasul adalah contoh orang-orang yang cerdas tetapi tanpa ketulusan. Karena itu, mereka menyesatkan banyak orang percaya untuk menjadi pengikut mereka, bukan pengikut Kristus.
Sebaliknya, para rasul sejati seperti Paulus dan rasul-rasul lainnya adalah pemberita Injil yang cerdas sekaligus tulus. Mereka menaati perintah Yesus untuk bersikap cerdik dan tulus. Para rasul sejati tetap berada di jalan dan tujuan yang benar. Kecerdasan dan ketulusan menjadikan mereka setia membawa orang berdosa kepada Kristus, sehingga menjadi pengikut Kristus yang sejati. MT
Minggu 05 Oktober 2025








