PENGHALANG MENGASIHI DENGAN TULUS
“Euodia kunasihati, dan Sintikhe kunasihati, supaya sehati sepikir dalam Tuhan. Bahkan, kuminta kepadamu juga, Sunsugos, temanku yang setia: tolonglah mereka. Karena mereka telah berjuang bersama aku dalam pekabaran Injil, bersama-sama dengan Klemens dan kawan-kawanku sekerja yang lain, yang nama-namanya tercantum dalam kitab kehidupan. Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!” (Filipi 4:2–4)
Kita semua mendambakan dikasihi dengan tulus. Sebab, bila kasih yang kita terima tidak tulus, sesungguhnya kita sedang hidup dalam tipu daya. Tanpa disadari, hal ini sangat mengganggu dan berdampak buruk pada hubungan yang menjadi tidak sehat. Tentu saja, kita tidak mungkin memaksa orang lain untuk mengasihi dengan tulus. Namun, yang dapat kita perjuangkan adalah membangun diri sendiri agar semakin peduli terhadap sesama dan belajar mengasihi dengan ketulusan.
Sayangnya, ada penghalang besar yang sering membuat kasih tidak tulus, yaitu kecenderungan hati yang mementingkan diri sendiri. Rasul Paulus menyaksikan bahwa kehidupan jemaat Kristus pada waktu itu rusak karena banyak orang hanya berpusat pada dirinya sendiri. Mereka tampak seolah-olah mengasihi orang lain, padahal sesungguhnya hanya mencintai dirinya sendiri secara berlebihan. Akibatnya, kasih yang mereka tunjukkan hanyalah pencitraan, bukan kasih yang tulus.
Untuk mengatasi hal ini, Rasul Paulus memberi pengarahan praktis: meneladani Kristus. Paulus menekankan agar kita “menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat dalam Kristus Yesus.” Yesus mengasihi dengan tulus, yang nyata melalui kerelaan-Nya meninggalkan kemuliaan-Nya sebagai Allah. Ia datang ke dunia sebagai manusia yang lahir di tempat hina, bahkan rela disalibkan untuk menyelamatkan manusia. Kerendahan hati Yesus adalah teladan bagi setiap pengikut-Nya.
Rendah hati adalah kunci untuk menghalau sikap mementingkan diri sendiri sekaligus jalan untuk dapat mengasihi dengan tulus. Karena itu, bila kita tidak ingin dikasihi dengan pura-pura, marilah kita terlebih dahulu belajar mengasihi dengan tulus.
Ada ungkapan yang mungkin terdengar ekstrem: lebih baik membenci dengan tulus daripada mengasihi dengan tidak tulus. Mengapa demikian? Sebab, ketika seseorang membenci kita secara terbuka, kita masih punya kesempatan untuk mempraktikkan Firman Tuhan, yaitu mengasihi dia dengan tulus. Tetapi, jika seseorang mengasihi kita tanpa ketulusan, kita bisa terjebak dalam situasi yang merugikan.
Karena itu, mari kita halau segala penghalang untuk mengasihi dengan tulus dengan cara meneladani Yesus dan merendahkan hati di hadapan-Nya. MT
Minggu 28 September 2025