Sabtu 28 Juni 2025
SELAMAT JALAN “KEKASIH KRISTUS”
Bacaan Sabda : Yohanes 11:25
“Jawab Yesus: ”Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati” (Yohanes 11:25)
Ketika menulis renungan ini, ibunda terkasih penulis sudah dipanggil menghadap Bapa di Surga, pada usia 91 tahun. Memang sudah sejak lama ibu sering mengungkapkan kerinduannya untuk segera meninggalkan dunia ini kepada kami, anak-anaknya. Suatu hari, penulis pernah berkata kepada ibu agar beliau panjang umur hingga seratus tahun. Namun, dengan lugas beliau menjawab: “Gila kamu… Bilang saja saya jadi batu sekalian.” Ungkapan itu mencerminkan kejujuran hati ibu, yang merasa lebih tenang bila ia lebih dulu dipanggil Tuhan, dibanding harus menyaksikan anak-anaknya meninggal lebih dulu—seperti dua anak kandungnya yang telah wafat dua puluh dan belasan tahun yang lalu.
Bagi ibu, di masa tuanya, jauh lebih mudah mengucapkan selamat tinggal kepada keturunannya, daripada harus mengucapkan selamat jalan kepada anak-anaknya. Sayangnya, kita hidup dalam budaya yang menolak pembicaraan tentang kematian. Akibatnya, kita sering tidak tahu bagaimana mendampingi orang terkasih yang mendekati ajal. Padahal, banyak di antara mereka ingin mempersiapkan diri dan keluarganya menghadapi kepergiannya.
Persiapan tersebut bisa mencakup: Mensyukuri hidup, Berdamai dengan sesama, Merampungkan tanggung jawab, Serta mempersiapkan diri bertemu Tuhan. Namun, semua ini hanya mungkin dilakukan jika ada kejujuran dalam mengungkapkan perasaan dan keluarga bersedia mendengarkan. Sayangnya, kejujuran seperti ini sangat sulit dilakukan, karena dianggap terlalu sensitif atau menakutkan.
Dalam Alkitab, bahkan para murid Tuhan pun tidak siap membicarakan kematian-Nya. Saat Yesus dengan jujur mengatakan bahwa Ia akan mati, Petrus menolaknya dan berkata: “Tuhan, kiranya Allah menjauhkan hal itu! Hal itu sekali-kali takkan menimpa Engkau.” (Matius 16:22) Namun, kematian Yesus tetap terjadi, dan Yesus sendiri menghadapi kematian dengan rasa sedih dan gentar (Matius 26:37). Meski demikian, Ia tetap mempersiapkan diri dan murid-murid-Nya. Begitu pula dengan ibunda penulis. Saat menjelang akhir hayatnya, ia mengangkat tangan dan berkata: “Tuntunlah aku, Yesus.” Penulis yakin, walau ibu berkata dengan tenang, di dalam hatinya pasti ada ketakutan dan kegentaran.
Secara pribadi, penulis pun sempat dirundung amarah, dilanda keputusasaan, dan diliputi kesedihan yang dalam. Bahkan sempat merasa membutuhkan pertolongan, karena kehilangan ini begitu berat. Namun, segala perasaan itu tidak dapat menggagalkan rancangan Tuhan yang indah bagi ibu tercinta. Yang bisa penulis ucapkan kini hanyalah: “Selamat Jalan, Kekasih Kristus.” MT
Dia yang terkasih pergi untuk selama-lamanya meninggalkan yang dikasih untuk sementara.