Minggu 23 Juni 2019
BERDIAM DIRI DIHADAPAN ALLAH
1 Samuel 1 – 2:11; Mazmur 49; Kisah Para Rasul 26:19-32
Ayat Mas / Renungan
1 Samuel 1:12-13 “Ketika perempuan itu terus-menerus berdoa di hadapan TUHAN, maka Eli mengamat-amati mulut perempuan itu; “dan karena Hana berkata-kata dalam hatinya dan hanya bibirnya saja bergerak-gerak, tetapi suaranya tidak kedengaran, maka Eli menyangka perempuan itu mabuk.”
Pada suatu saat seorang jemaat bertanya kepada pendetanya untuk mengetahui tentang artinya berdoa dan berdiam diri di hadirat Tuhan. Pendetanya pun mengambil segelas air dan menaruh sedikit debu kedalamnya serta mengaduknya. Hasilnya air menjadi keruh. Pak pendeta kemudian berkata air ini akan terus keruh bila diaduk atau digerakkan. Sekarang saya letakkan gelas ini di atas meja, dan tunggu sebentar apa hasilnya, setelah ditunggu sebentar kotoran pun mengendap ke bawah dan air menjadi bersih. Pendeta pun berkata itulah arti pentingnya berdiam diri di hadirat Allah. Berdasarkan gambaran pak pendeta sangat jelas kekeruhan hati dan jiwa dapat diatasi dengan berdiam diri sejenak di hadirat Tuhan.
Ada kalanya kita berhenti berkata-kata berhenti meronta ketika hati gundah gulana. Kesulitan terkadang tak terhilangkan tetapi bisa diendapkan agar hidup bersih jiwa terang benderang untuk mendapatkan solusi dari berbagai persoalan yang sedang menerpa jiwa. Sangat beralasan bila hati Hana keruh karena sakit hati yang berkepanjangan. Sebenarnya bukan kemandulan alasan satu-satunya bagi Hana untuk sakit hati. Sebagai perempuan dewasa yang beriman Hana telah menerima kenyataan tersebut. Tetapi sikap suaminya Elkana dan madunya Peninalah yang menyakiti hatinya. Sikap Elkana dalam memperlakukan kedua istrinya sering menyakiti hati Hana. Belum lagi sikap Penina yang menghina Hana karena mandul menambah sakit hati Hana. Berulangkali saya jelaskan bahwa apa pun alasannya poligami adalah suatu pelanggaran kepada firman Allah. Itulah sebabnya selalu berakibat buruk. Puncak sakit hati Naomi adalah saat suaminya Elkana berkata “Hana mengapa engkau menangis dan mengapa engkau tidak mau makan? Mengapa hatimu sedih? Bukanlah aku lebih berharga bagimu daripada sepuluh anak laki-laki?”. Suatu tuduhan dalam bentuk pertanyaan Elkana yang sangat menyakitkan hati Hana sebagai seorang perempuan baik-baik. Pada puncak kesedihan hatinya Hana berdoa dengan sikap berdiam diri. Suatu sikap berdoa yang sangat sungguh-sungguh mengungkapkan harap tanpa kata kepada Allah. Diam-diam imam Eli memperhatikan sikap berdoa Hana yang tergolong aneh pada zaman itu. Tanpa berpikir panjang imam Eli sempat menuduh Hana sedang mabuk. Tetapi setelah mendapat penjelasan, imam Eli mengatakan kata-kata iman bahwa doa Hana sudah didengar dan akan dikabulkan Allah. (MT)
Doa tanpa kata adalah sikap tepat untuk memperoleh hati yang jernih sebelum memohon.