PESAN MINGGU INI 13 JULI 2025
BERTUMBUH MELALUI PENCOBAAN
Katanya: ”Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan!” Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dan tidak menuduh Allah berbuat yang kurang patut.” (Ayub 1:21-22)
Ayub adalah seorang yang hidup saleh dan takut akan Allah. Namun, dalam kehendak-Nya, Allah mengizinkan Ayub mengalami pencobaan yang sangat berat, yang terjadi dalam waktu yang begitu singkat. Pada awal saya membaca kitab Ayub, saya sulit menerima kenyataan bahwa Allah sendiri mengizinkan iblis mencobai Ayub. Sebab, secara manusiawi, tidak ada alasan yang tampak cukup kuat untuk membuat Ayub harus mengalami penderitaan sedemikian rupa—kehilangan harta, anak-anak, dan kesehatannya.
Bukankah Allah adalah Pribadi yang penuh kasih dan menginginkan umat-Nya hidup dalam damai sejahtera? Benar. Tetapi kasih Allah tidak menghilangkan keadilan dan kebijaksanaan-Nya. Allah memang mengasihi umat-Nya, tetapi dalam kasih-Nya itu, Dia juga adil dan mahabijaksana. Karena itu, Allah bisa mengizinkan umat-Nya mengalami kesulitan. Kesulitan bisa datang karena: kesalahan kita sendiri, kejahatan orang lain, atau situasi yang tak bisa kita kendalikan, seperti bencana alam.
Apapun bentuknya, jika Allah mengizinkan kesulitan menimpa umat-Nya, itu bukan karena Ia lalai atau tidak peduli, melainkan karena Ia: Maha Adil: menghargai tanggung jawab manusia, Mahakasih: menyertai dalam penderitaan, Mahatahu dan Mahabijaksana: tahu tujuan akhir dari semua itu untuk kebaikan kita.
Dalam hal Ayub, Allah mengizinkan penderitaan bukan karena Ayub bersalah, tetapi justru karena Ayub benar di hadapan-Nya. Ayub yang sudah percaya dan hidup saleh, diuji agar semakin percaya, semakin saleh, semakin murni di hadapan Allah.
Penderitaan Ayub bukan tanpa hasil. Di akhir ujian, Ayub memberikan kesaksian luar biasa dalam Ayub 42:5: “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau.” Itu artinya, melalui pencobaan, iman Ayub naik ke tingkat yang lebih dalam dan lebih nyata. Ia bukan lagi hanya mengenal Allah secara teori atau cerita, tetapi mengalami-Nya secara pribadi.
Kitab Ayub mengajarkan kita satu kebenaran penting: Melalui pencobaan, Allah membentuk orang percaya menjadi semakin percaya; orang baik menjadi semakin baik. Jadi, bila hari ini Anda sedang berada dalam penderitaan atau ujian berat, ingatlah: Itu bukan tanda Allah meninggalkan Anda, tetapi mungkin justru cara Allah mendekatkan Anda lebih dalam kepada-Nya. MT
Minggu 13 Juli 2025
PESAN MINGGU INI 06 JULI 2025
SIKAP YANG BENAR DALAM MENYIKAPI PENCOBAAN
“Berbahagialah orang yang bertahan dalam pencobaan, sebab apabila ia sudah tahan uji, ia akan menerima mahkota kehidupan yang dijanjikan Allah kepada barangsiapa yang mengasihi Dia.” (Yakobus 1:12)
Dalam Yakobus 1:2, dinyatakan bahwa semua orang percaya hendaklah menerima pencobaan sebagai sebuah kebahagiaan. Pencobaan yang dimaksud oleh Yakobus adalah penganiayaan dan kesulitan yang datang dari dunia dan iblis, yang bertujuan untuk menjatuhkan dan melemahkan iman para pengikut Kristus.
Rasul Paulus menyatakan dalam 1 Korintus 10:13 bahwa pencobaan adalah hal yang lazim bagi semua orang percaya. Bahkan Paulus dan Rasul Yohanes sama-sama menegaskan bahwa sikap yang benar dalam menghadapi pencobaan adalah bersukacita. Justru, ketika tidak ada pencobaan, itu bisa dianggap sebagai sesuatu yang kurang wajar. Namun demikian, pencobaan bukanlah sesuatu yang perlu dicari, karena ia pasti datang tanpa diundang. Pencobaan juga tidak perlu dihindari, melainkan harus dihadapi dengan iman dan keberanian.
Mengapa kita dikatakan berbahagia saat menghadapi pencobaan? Ada beberapa alasannya:
- Pencobaan adalah ujian iman yang menghasilkan ketekunan. Jika kita menghadapi pencobaan dengan keberanian, maka kita sedang membentuk diri menjadi pribadi yang tabah dan tekun. Ketekunan ini akan mendorong kita untuk semakin bertumbuh dalam iman.
- Pencobaan adalah kesempatan untuk mencapai kedewasaan iman. Setiap orang percaya harus siap menghadapi berbagai kesulitan dan tantangan. Yakobus menyebut bahwa pencobaan adalah ujian terhadap iman—ujian yang bertujuan untuk meningkatkan, bukan menjatuhkan. Kesulitan bukanlah hukuman Allah atau tanda bahwa Allah tidak berkenan, melainkan tanda bahwa Allah sedang memurnikan dan menguatkan komitmen iman seseorang.
- Pencobaan memberi kesempatan untuk mengalami kemenangan bersama Tuhan. Dalam Kristus, tidak ada masalah yang tidak dapat diselesaikan. Setiap pencobaan justru memberi kita kemampuan baru untuk menghadapi hidup dengan bijak dan menang. Ketika kita tetap bertahan dalam pencobaan, maka kita akan menjadi pribadi yang tahan uji. Dan jika kita sudah tahan uji, waktu dan pengalaman akan terus membentuk kita menuju kedewasaan iman.
Ingatlah, semuanya dimulai dari sikap yang tepat saat menghadapi pencobaan—yaitu bersukacita dan berbahagia. Seperti kata Yakobus: “Anggaplah sebagai suatu kebahagiaan apabila kamu jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan.” (Yakobus 1:2). MT
Minggu 06 Juli 2025
PESAN MINGGU INI 29 JUNI 2025
KONFLIK DALAM KELUARGA
“Dan anggaplah sebagai suatu kehormatan untuk hidup tenang, untuk mengurus persoalan-persoalan sendiri dan bekerja dengan tangan, seperti yang telah kami pesankan kepadamu, sehingga kamu hidup sebagai orang-orang yang sopan di mata orang luar dan tidak bergantung pada mereka.” (1 Tesalonika 4:11-12)
Konflik dalam keluarga adalah hal yang sangat umum dan tidak bisa dihindari. Menghindari konflik adalah usaha yang sia-sia, bahkan dalam hubungan dengan diri sendiri kita sering mengalami konflik batin. Apalagi dalam kehidupan suami istri, perbedaan karakter, sudut pandang, dan kebiasaan sangat mungkin menimbulkan konflik. Penyebab umumnya adalah banyaknya perbedaan, kesalahpahaman, dan hambatan komunikasi yang efektif. Maka, yang penting bukan menghindari konflik, melainkan menemukan sikap yang benar dalam menghadapinya.
Ada tiga sikap umum dalam merespons konflik: pesimis, emosional, dan rasional :
- Sikap Pesimis. Sikap ini menganggap konflik selalu merugikan hubungan, sehingga memilih mengubur masalah daripada menghadapinya. Akibatnya, komunikasi menjadi tersumbat, dan hubungan suami istri menjadi hambar meski masih bertahan. Masalah yang disembunyikan tidak pernah terselesaikan dan bisa muncul kembali dalam bentuk lain.
- Sikap Emosional. Sikap ini menanggapi konflik secara spontan dan meledak-ledak, tanpa memahami akar masalah terlebih dahulu. Biasanya terjadi saling tuding, saling menyalahkan, dan bahkan melukai perasaan pasangan. Situasi ini sering digambarkan seperti perseteruan anjing dan kucing, yang penuh ketegangan dan tanpa solusi.
- Sikap Rasional. Sikap ini adalah cara terbaik dalam menghadapi konflik. Suami dan istri duduk bersama dengan tenang, saling mengemukakan pendapat, dan mempelajari bersama akar permasalahan. Dengan dialog terbuka dan suasana penuh kasih, mereka bisa mencapai kesepakatan yang adil dan membangun. Sikap rasional membuat konflik menjadi kesempatan untuk bertumbuh dalam hubungan.
Dari ketiga sikap tersebut, reaksi rasional adalah yang paling tepat. Namun, harus disertai dengan ketaatan pada Firman Tuhan. Dalam Matius 5:13–16, Yesus mengajarkan prinsip hukum positif dan hukum negatif:
- Hukum positif: menjadi terang dunia, yaitu saling mengasihi dan mengampuni.
- Hukum negatif: menjadi garam dunia, artinya jangan melakukan tindakan yang bertentangan dengan kasih.
Dengan menerapkan prinsip-prinsip ini, setiap konflik dalam keluarga dapat menjadi momentum pertumbuhan iman dan kedewasaan hubungan, bukan perpecahan. MT
Minggu 29 Juni 2025
PESAN MINGGU INI 22 JUNI 2025
MEMBANGUN KOMUNIKASI DALAM KELUARGA
“Di dalam banyak bicara pasti ada pelanggaran, tetapi siapa yang menahan bibirnya, berakal budi. Lidah orang benar seperti perak pilihan, tetapi pikiran orang fasik sedikit nilainya. Bibir orang benar menggembalakan banyak orang, tetapi orang bodoh mati karena kurang akal budi.” (Amsal 10:19-21)
Pada dasarnya, berkomunikasi adalah berkata dan mendengar. Namun menciptakan suasana saling berbicara dengan baik dan saling mendengarkan dengan sungguh-sungguh dalam keluarga bukanlah hal yang mudah. Dalam berkomunikasi, khususnya dalam membangun hubungan suami istri, yang paling penting adalah kejujuran dan keterbukaan. Jadi, membangun komunikasi dalam keluarga adalah hidup jujur dalam saling berbicara dan mendengarkan secara terbuka dan sungguh-sungguh.
Ada yang berpendapat bahwa berbicara adalah hal yang sangat mudah. Hal itu benar, jika yang dimaksud adalah asal bicara saja. Namun, berbicara secara benar dan bermutu baik tidaklah mudah, karena harus mempertimbangkan dampak, makna, serta faedah dari pembicaraan.
Berbicara yang baik dan benar adalah pembelajaran yang harus dilakukan secara berkesinambungan dan terus menerus diterapkan. Dalam belajar berbicara, hendaklah berbicara dari hati dan batin secara hidup untuk memperkaya komunikasi.
Jadi, ada tiga dasar untuk membangun komunikasi yang baik dalam keluarga:
- Menggunakan pikiran secara baik dan benar. Dalam hal ini, hendaklah selektif dalam menggunakan kata-kata dan kalimat. Setiap suami dan istri hendaknya berpikir sebelum berbicara. Jangan pernah berbicara secara emosional, walaupun bukan berarti berbicara tanpa perasaan.
- Mengedepankan hati nurani yang murni. Ini penting untuk menjamin ketulusan hati dalam berbicara. Berbicara dengan tulus dalam membangun komunikasi biasanya mempertimbangkan perasaan pasangan dalam menggunakan kata-kata dan kalimat. Bukan hanya itu, tetapi juga menempatkan diri pada posisi pasangan sebelum berbicara.
- Mengoperasikan kasih. Jika komunikasi didasari oleh kasih, maka kalimat yang digunakan dalam berkomunikasi adalah bahasa kasih, yaitu bahasa yang keluar dari kelembutan hati. Namun, perlu dipahami bahwa bahasa kasih kadang-kadang berwujud kalimat yang tegas dan keras, tetapi tujuannya adalah untuk kebaikan semua pihak. MT
Minggu 22 Juni 2025
PESAN MINGGU INI 15 JUNI 2025
MEMBANGUN KARAKTER PEMBERI DALAM KELUARGA
“Camkanlah ini: Orang yang menabur sedikit, akan menuai sedikit juga, dan orang yang menabur banyak, akan menuai banyak juga. Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita.” (2 Korintus 9:6-7)
Semua ciptaan Allah dilengkapi dengan kemampuan untuk memberi. Tanah memberi makanan pada tumbuhan, tumbuhan memberi daun dan buahnya kepada makhluk hidup. Matahari memberi sinarnya, dan air memberi kesegaran. Namun, semuanya itu terjadi secara otomatis dan alami. Berbeda dengan manusia, yang justru secara naluriah lebih cenderung ingin menerima. Oleh karena itu, sikap memberi harus dididik dan dibangun secara sengaja. Padahal, memberi adalah nilai yang baik dan benar bagi semua orang percaya.
Dalam kitab Taurat, Allah memerintahkan umat-Nya untuk memberi dan mempersembahkan berbagai persembahan, termasuk persembahan persepuluhan. Perintah ini dilanjutkan dalam kitab para nabi dan juga dalam Perjanjian Baru. Dengan demikian, seluruh Kitab Suci menulis perintah agar umat-Nya dibentuk menjadi pribadi yang memiliki karakter pemberi. Membangun karakter pemberi harus dimulai dari dalam keluarga. Orang tua memiliki tanggung jawab untuk mengasuh, mendisiplinkan, dan mendidik anak-anak mereka. Ini berarti mengabdikan diri untuk menuntun anak-anak secara sengaja, terencana, dan berkesinambungan agar mereka tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter baik dan benar.
Panggilan orang tua untuk mendidik anak-anak dalam keluarga harus diterima dengan sukacita, sebagai bentuk tanggung jawab untuk membentuk karakter dan mengembangkan potensi diri. Dalam hal ini, orang tua tidak boleh melupakan pentingnya membangun potensi dan karakter pemberi sebagai nilai baik dan benar Kristiani yang harus ditanamkan secara sengaja dan terencana tentu saja berdasarkan standar Firman Tuhan. Membangun karakter pemberi dalam keluarga harus dimulai melalui keteladanan yang ditunjukkan oleh orang tua. Setelah memberi keteladanan secara berulang, langkah selanjutnya adalah mengajarkan perintah Tuhan, karena karakter pemberi yang dimaksud adalah pemberi yang sesuai dengan Firman Tuhan.
Rasul Paulus menjelaskan bahwa terdapat tiga tahapan dalam membentuk karakter pemberi:
- Tahapan pertama: Memberi, baik sedikit maupun banyak, tidak akan pernah merugikan, justru akan menguntungkan.
- Tahapan kedua: Memberi dengan kerelaan, sesuai dengan kemampuan, meskipun tidak menutup kemungkinan untuk memberi melebihi kemampuan.
- Tahapan ketiga: Memberi dengan tulus dan penuh sukacita.
Minggu 15 Juni 2025
PESAN MINGGU INI 08 JUNI 2025
PERANAN ROH KUDUS
“Semuanya itu Kukatakan kepadamu, selagi Aku berada bersama-sama dengan kamu; tetapi Penghibur, yaitu Roh Kudus, yang akan diutus oleh Bapa dalam nama-Ku, Dialah yang akan mengajarkan segala sesuatu kepadamu dan akan mengingatkan kamu akan semua yang telah Kukatakan kepadamu.” (Yohanes 14:25-26)
Roh Kudus disebut juga sebagai Penghibur. Dalam Yohanes 14:16, Ia disebut Penolong, dan dalam ayat 17, disebut Roh Kebenaran. Dari penjelasan yang menyusul, kita dapat memahami bahwa sebutan-sebutan ini menjelaskan peranan Roh Kudus. Namun, ada baiknya kita terlebih dahulu memfokuskan perhatian kepada pribadi Roh Kudus sebagai pribadi ketiga dalam Allah Tritunggal.
Dari nama-Nya, “Roh Kudus”, sudah sangat jelas bahwa yang terpenting bukanlah kebesaran dan kuasa-Nya, melainkan kekudusan-Nya. Nama ini menekankan bahwa “Dia adalah Kudus”. Artinya, yang utama bukanlah manifestasi kebesaran dan kuasa yang mungkin dinyatakan melalui hamba-hamba-Nya, tetapi manifestasi kekudusan yang tercermin dalam karakter dan tabiat umat-Nya dalam kehidupan sehari-hari.
Manifestasi kuasa dan kebesaran memang penting, tetapi bukan yang terpenting. Manifestasi yang terpenting adalah kekudusan. Karena kekudusan adalah yang terutama, maka Dia disebut Roh Kudus bukan roh kebesaran atau roh kekuasaan. Namun demikian, Roh Kudus juga adalah “Roh Kebenaran”, sebab kekudusan tidak dapat dipisahkan dari kebenaran. Kudus dan benar merupakan karakter Kristus yang harus diteladani oleh semua orang percaya. Jadi, yang harus dituju bukanlah kebesaran atau kekuasaan, tetapi kehidupan yang kudus dan benar. Hidup yang kudus juga merupakan wujud dari hidup dalam kebenaran. Dengan demikian, kita dapat memahami bahwa peranan terpenting Roh Kudus adalah menuntun kita kepada kekudusan dan kebenaran hidup.
Yohanes 16:13 berkata, “Tetapi apabila Ia datang, yaitu Roh Kebenaran, Ia akan memimpin kamu ke dalam seluruh kebenaran; sebab Ia tidak akan berkata-kata dari diri-Nya sendiri, tetapi segala sesuatu yang didengar-Nya itulah yang akan dikatakan-Nya dan Ia akan memberitakan kepadamu hal-hal yang akan datang.” Dalam hal ini, Roh Kudus menginsafkan orang berdosa akan kesalahannya sehingga mereka mengalami pertobatan.
Selanjutnya, Roh Kudus akan menuntun orang yang telah bertobat untuk hidup sesuai dengan firman Tuhan, menjadikan firman itu sebagai standar kebenaran dalam hidupnya. Tentu saja, peranan Roh Kudus sangat banyak dan sangat penting. Namun, marilah kita mengutamakan yang terpenting: yaitu dituntun untuk hidup dalam kekudusan dan kebenaran. MT
Minggu 08 Juni 2025
PESAN MINGGU INI 01 JUNI 2025
KETULUSAN KUNCI KEBAHAGIAAN KELUARGA
“Aku hendak memperhatikan hidup yang tidak bercela: Bilakah Engkau datang kepadaku? Aku hendak hidup dalam ketulusan hatiku di dalam rumahku. Tiada kutaruh di depan mataku perkara dursila; perbuatan murtad aku benci, itu takkan melekat padaku. Hati yang bengkok akan menjauh dari padaku,kejahatan aku tidak mau tahu.” (Mazmur 101:2-4)
Mazmur 101 ini adalah merupakan gambaran jenis hati yang perlu dimiliki seorang raja Israel bila memerintah sesuai kehendak Allah. Konsep-konsep kepemimpinan dalam gereja pun sangat jelas dalam pemaparan Mazmur pasal 101 ini. Rasul Paulus menyatakan konsep ini sangat jelas dalam Kisah Para Rasul 24:16 “Sebab itu aku senantiasa berusaha hidup dengan hati nurani yang murni di hadapan Allah dan manusia”.
Semua pemimpin harus menjaga ketulusan hatinya supaya jangan sampai tercemar. Sebab kalau ketulusan hati sudah tercemar oleh motivasi dan tujuan yang menyimpang maka iman, kehidupan doa dan hubungan dengan Allah akan terganggu hingga rusak sama sekali. Konsep ketulusan hati atau hati nurani yang murni ini juga dapat diterapkan dalam keluarga sesuai dengan pernyataan pemazmur : “Aku hendak hidup dalam ketulusan hatiku di dalam rumahku”.
Semua orang percaya atau para pengikut Kristus yang setia hendaklah memprioritaskan segala sesuatu yang menyenangkan Allah dalam keluarga. Kesalehan sejati karena ketulusan hati menerapkan kebenaran firman Allah. Pertama-tama dan utama diwujudkan dan dikembangkan dalam keluarga. Jadi segala aktifitas rohani seperti berdoa, membaca firman Tuhan, memberi nasihat dan pengarahan Alkitabiah kepada semua anggota keluarga hendaklah dilakukan dalam ketulusan hati. Mengasihi, memberi perhatian atau kepedulian dalam keluarga hendaklah pula didasari dan diterapkan dalam ketulusan hati.
Keluarga adalah tempat bagi seluruh anggota untuk menerapkan ketulusan hati dalam berucap dan bersikap. Mungkin saja hal itu bisa menimbulkan konflik tetapi biasanya sangat temporer dan berproses untuk semakin saling memahami dan juga saling mengerti, sehingga betul-betul saling mengasihi dengan ketulusan hati. Jadi seorang kepada keluarga hendaklah mengabdi kepada Allah dan kebenaran-Nya dalam ketulusan hati. Hal itu dengan sendirinya membenci dan menjauhi kejahatan. Kemudian akan menjaga kehidupan pribadi dan keluarga dari hal-hal yang tidak menyenangkan hati Allah atau mendukakan Roh Kudus. Jadi bila kepala dan anggota keluarga menaati serta menerapkan firman Tuhan dalam ketulusan hati adalah menjadi jaminan dan kunci tercapainya keluarga bahagia. MT
Minggu 01 Juni 2025