PESAN MINGGU INI 14 SEPTEMBER 2025
LANGKAH-LANGKAH MENGASIHI DENGAN TULUS
“Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu. Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya. Kamu adalah sahabat-Ku, jikalau kamu berbuat apa yang Kuperintahkan kepadamu.” (Yohanes 15:12–14)
Mengasihi sesama manusia adalah perintah yang setara dengan mengasihi Allah. Jadi, sangat jelas bahwa mengasihi bukanlah pilihan, melainkan perintah. Namun, ketaatan untuk mengasihi tidaklah mudah, karena kasih yang diperintahkan adalah kasih yang tulus. Untuk mencapainya, dibutuhkan usaha dan upaya yang disengaja, melalui langkah-langkah dalam proses membentuk diri :
- Langkah pertama adalah mengerti bahwa Allah, di dalam Yesus Kristus, telah lebih dulu mengasihi kita apa adanya—bukan karena kita layak untuk dikasihi. Yohanes, salah seorang murid Yesus, sering menyebut dirinya sebagai “Murid yang dikasihi oleh Yesus” (Yohanes 13:26; 19:26; 20:2). Yohanes bukan dikasihi karena lebih baik dari murid yang lain, melainkan ia menyatakan dirinya demikian sebagai motivasi untuk terus belajar mengasihi dengan tulus, sebagaimana Yesus mengasihi dirinya dengan rela berkorban sebagai bukti ketulusan hati-Nya.
- Langkah kedua adalah belajar untuk semakin mengasihi. Petrus adalah murid Yesus yang sering tampil penuh semangat dan seolah lebih mengasihi Yesus dibanding murid-murid lain. Ia pernah menyatakan kesediaannya untuk berkorban bagi Yesus, sekalipun murid-murid lain meninggalkan Dia. Namun, ketika Yesus ditangkap dan diadili, Petrus menyangkal-Nya tiga kali. Setelah kebangkitan Yesus, Petrus merasa bersalah, tetapi Yesus memulihkannya dengan perintah: “Gembalakanlah domba-domba-Ku.” Sejak saat itu, Petrus terus belajar untuk semakin mencintai Yesus dan sesama, yang kemudian tampak jelas dalam surat-surat pelayanannya.
- Langkah ketiga adalah hidup sebagai sahabat Kristus dengan menaati perintah-Nya. Segala sesuatu yang dilakukan Yesus selalu lahir dari ketulusan hati. Firman Tuhan berkata: “Hiduplah sebagai anak-anak yang taat, dan jangan turuti hawa nafsu yang menguasai kamu pada waktu kebodohanmu” (1 Petrus 1:14). Yohanes dan Petrus sama-sama belajar dari Yesus untuk hidup taat dan mengasihi dengan tulus.
Karena kita telah dikasihi Yesus dengan kasih yang tulus, maka sebagai sahabat-sahabat-Nya kita pun harus meneladani Dia: mengasihi Allah dan sesama dengan hati yang murni. Jangan pernah melakukan kebaikan tanpa ketulusan. Belajarlah dari Yesus untuk selalu mengasihi dengan tulus. MT
Minggu 14 September 2025
PESAN MINGGU INI 07 SEPTEMBER 2025
KETULUSAN YESUS
“Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati, dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Ku pun ringan.” (Matius 11:28-30)
Di hadapan banyak orang yang mengagumi Yesus karena berbagai mujizat yang dilakukan-Nya, Yesus mengecam kota Khorazim, Betsaida, dan Kapernaum. Alasannya, karena di ketiga kota ini Yesus telah melakukan banyak tanda ajaib yang menyatakan bahwa sesungguhnya Dia adalah Anak Allah. Namun, penduduknya tetap tidak percaya dan menolak Dia.
Penolakan itu tidak menghentikan Yesus untuk terus berkarya menjangkau orang berdosa yang membutuhkan keselamatan. Di tengah orang banyak yang menolak maupun menerima-Nya, Yesus memberikan undangan yang sangat indah: agar semua orang yang letih lesu datang kepada-Nya untuk memperoleh kelegaan.
Dalam pandangan Yesus, beban yang membuat manusia letih dan lesu adalah dosa. Hanya Yesus yang berkuasa melepaskan manusia dari tekanan dan ikatan dosa. Undangan Yesus ini dengan jelas menyatakan ketulusan hati-Nya untuk memberi jalan keluar bagi manusia dari belenggu dosa.
Yesus bukan hanya mengundang manusia berdosa datang kepada-Nya, tetapi juga mengajak mereka untuk belajar kepada-Nya. Melalui undangan dan ajakan itu, nyata bahwa Yesus dengan tulus membuka diri. Ia dengan jujur menyatakan diri sebagai pribadi yang lemah lembut dan rendah hati. Pernyataan ini sangat beralasan, sebab meskipun ditolak, Yesus tetap menjangkau sebanyak mungkin orang berdosa agar memperoleh keselamatan.
Kelemahlembutan dan kerendahan hati Yesus adalah pernyataan diri yang tulus, terbukti karena tidak terhentikan oleh penolakan manusia. Segala sesuatu yang dikatakan Yesus tentang diri-Nya adalah kebenaran yang didasari ketulusan sempurna. Semua janji-Nya kepada pengikut-Nya adalah janji yang tulus dan pasti digenapi, karena bersumber dari kasih, kuasa, dan keadilan-Nya.
Segala karya Yesus untuk menyelamatkan manusia berdosa adalah karya agung yang tulus. Itulah sebabnya Dia tidak dapat dihentikan oleh apa atau siapa pun. Karena itu, marilah kita belajar kepada Yesus, menerima kuk-Nya yang ringan, dan menanggung beban yang diberikan-Nya. Jangan ragu, terimalah dengan tulus, sebab Dia pun memberikannya dengan janji yang tulus. MT
Minggu 07 September 2025
PESAN MINGGU INI 31 AGUSTUS 2025
PENGAMPUNAN YANG MEYELAMATKAN JIWA-JIWA
“Anggaplah kesabaran Tuhan kita sebagai kesempatan bagimu untuk beroleh selamat, seperti juga Paulus, saudara kita yang kekasih, telah menulis kepadamu menurut hikmat yang dikaruniakan kepadanya.” (2 Petrus 3:15)
Kesabaran Allah sudah pasti tidak terbatas, bersamaan dengan sikap kasih-Nya yang selalu mengampuni tanpa batas. Kesabaran Allah memberi kesempatan kepada manusia berdosa untuk memperoleh keselamatan.
Rasul Petrus menjelaskan kesabaran Tuhan Allah di dalam Yesus Kristus dengan mengangkat kasus kesabaran Allah terhadap Paulus. Tuhan Yesus mengetahui dan melihat bahwa sebelum bertemu Yesus, Paulus menganiaya pengikut Kristus. Yesus sebenarnya bisa saja mencegah Paulus dengan cara-Nya untuk menghentikan dosa dan kesalahan Paulus. Namun, Allah sabar memberi kesempatan kepada Paulus untuk memperoleh keselamatan.
Yesus sendiri berinisiatif bertemu Paulus sebagai bukti pengampunan-Nya kepadanya. Paulus merespon dengan baik, sehingga terjadi perubahan hidup yang mendasar—bukan hanya menyelamatkannya, tetapi juga menjadikannya seorang rasul. Hal ini berlaku bagi semua manusia berdosa: Allah sabar memberi kesempatan agar mereka memperoleh keselamatan.
Tuhan Yesus sempat menghukum Paulus dengan membuat matanya buta untuk sementara waktu. Kadang-kadang Yesus menghukum bukan karena membenci, melainkan sebagai wujud kasih-Nya, agar manusia berdosa yang terhukum bertobat dan menerima anugerah keselamatan.
Allah di dalam Yesus Kristus memiliki pengampunan yang tak terbatas, sebab pengampunan Allah-lah yang menyelamatkan manusia berdosa. Namun, perlu dipahami bahwa para pengikut Kristus juga harus berusaha belajar dari Yesus untuk selalu lemah lembut dalam sikap mengampuni.
Matius 18:18: “Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya apa yang kamu ikat di dunia ini akan terikat di sorga, dan apa yang kamu lepaskan di dunia ini akan terlepas di sorga.”
Firman Tuhan ini bertujuan mendisiplinkan pembuat kesalahan dalam gereja lokal. Dalam hal ini, tujuannya bukan menghakimi, melainkan mengasihi. Bila kesalahan seseorang sudah diampuni oleh umat di bumi, maka hal itu memberi jalan baginya untuk diampuni di surga.
Tujuan mendisiplinkan adalah melindungi. Karena itu, ajaran Yesus tidak dimaksudkan untuk diabaikan, tetapi harus dijalankan dengan hati yang mengampuni. Pengampunan yang diberikan gereja kepada pelaku kesalahan merupakan peluang baginya untuk menerima pengampunan yang menyelamatkan dari Allah. MT
Minggu 31 Agustus 2025
PESAN MINGGU INI 24 AGUSTUS 2025
DAMPAK MENGAMPUNI DAN TIDAK MENGAMPUNI
“Kemudian datanglah Petrus dan berkata kepada Yesus: ”Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?” Yesus berkata kepadanya: ”Bukan! Aku berkata kepadamu: Bukan sampai tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali.” (Matius 18:21-22)
Pengampunan Allah adalah anugerah atau pemberian tanpa syarat. Namun, untuk tetap hidup sebagai umat yang diampuni, ternyata ada syaratnya. Syarat tersebut adalah selalu bersedia, dengan hati yang tulus, untuk mengampuni sesama.
Petrus memahami hal ini, tetapi ia berpikir bahwa mengampuni sesama tentu ada batasnya. Untuk memperoleh kepastian, Petrus pun bertanya kepada Yesus. Petrus sangat terkesima ketika mendengar jawaban-Nya, karena menurut Yesus, mengampuni sesama tidak ada batasnya. Kita harus selalu mengampuni tanpa mengingat berapa kali dan sebesar apa kesalahan yang dilakukan sesama terhadap kita.
Mengampuni harus dilakukan terus-menerus agar memberi dampak yang baik dan benar. Sekali saja kita tidak mengampuni karena kesalahan atau kejahatan sesama yang kita anggap terlalu besar, maka dampak baik dari mengampuni akan hilang, tergantikan dengan dampak buruk dari ketidakmauan mengampuni – walaupun hanya sekali.
Memang manusia terbatas dalam segala hal, tetapi keterbatasan itu bukan alasan untuk tidak mengampuni. Kita perlu selalu mengingatkan diri sendiri untuk mengampuni, sebab jika kita tidak mengampuni orang yang bersalah kepada kita, maka kita pun tidak berhak mendapat pengampunan dari Allah.
Dampak utama dari mengampuni adalah memperoleh pengampunan dari Allah. Sebaliknya, dampak buruk utama dari tidak mengampuni adalah tidak berhak mendapat pengampunan dari Allah. Pengampunan Allah atas dosa manusia tidak terpisahkan dari anugerah keselamatan kekal.
Mungkin kita sudah sangat terbiasa mendengar kata “mengampuni” sehingga nilainya dianggap biasa saja. Padahal, mengampuni adalah hal dan nilai hidup yang sangat penting, sehingga tidak ada alasan bagi umat Tuhan untuk tidak mengampuni. Mengampuni membawa kebaikan, baik bagi yang mengampuni maupun yang diampuni. Sebaliknya, tidak mengampuni merugikan, baik bagi yang tidak mengampuni maupun bagi yang tidak diampuni.
Jadi, teruslah mengampuni. Tidak ada alasan yang benar untuk menolak mengampuni orang yang bersalah kepada kita. Tidak ada ruginya selalu mengampuni, dan tidak ada untungnya sama sekali jika kita memilih tidak mengampuni. Karena itu, tidak ada salahnya jika pengampunan tidak dibatasi, sebab sebesar apa pun kesalahan orang lain, tidak sebanding dengan dosa manusia terhadap Allah. MT
Minggu 24 Agustus 2025
PESAN MINGGU INI 17 AGUSTUS 2025
KOBARKAN CINTA UNTUK INDONESIA
“Dan umat-Ku, yang atasnya nama-Ku disebut, merendahkan diri, berdoa dan mencari wajah-Ku, lalu berbalik dari jalan-jalannya yang jahat, maka Aku akan mendengar dari sorga dan mengampuni dosa mereka, serta memulihkan negeri mereka.” (2 Tawarikh 7:14)
Mengobarkan cinta untuk bangsa berkaitan erat dengan peristiwa pentahbisan Bait Suci pada zaman Raja Salomo. Pada saat itu, firman Tuhan secara khusus disampaikan sebagai panggilan untuk kebangunan rohani demi kemajuan bangsa. Allah menegaskan bahwa Ia akan menghukum bangsa yang hidup dalam kemerosotan moral.
Jika dikaitkan dengan kondisi zaman sekarang, gereja harus terus-menerus menyuarakan suara kebenaran guna mencegah terjadinya kemerosotan moral di tengah masyarakat tempat gereja hadir dan hidup. Oleh karena itu, gereja harus memiliki hati yang berkobar untuk mencintai bangsa tempat ia hidup dan berkarya. Dalam hal ini, gereja harus berjuang untuk menyuarakan dan menghidupi kebenaran.
Allah dengan tegas memberikan perintah melalui Raja Salomo agar umat-Nya menjalankan tanggung jawab bagi bangsanya. Ada 4 hal utama yang ditekankan:
- Merendahkan diri di hadapan Allah. Umat Allah harus terus-menerus merendahkan diri di hadapan-Nya. Ini berarti mengakui kekurangan dan ketidakmampuan untuk hidup sebagai terang bagi bangsa. Namun, di tengah keterbatasan itu, umat harus tetap berkomitmen untuk menaati firman Tuhan dan menjadi saksi-Nya melalui keteladanan hidup.
- Berdoa. Umat Allah harus bersatu hati dalam doa, berseru kepada Tuhan memohon kemurahan dan belas kasih-Nya bagi bangsa tempat gereja hadir dan berkarya. Doa yang sungguh-sungguh harus terus dipanjatkan agar Allah berkenan hadir dan melakukan karya-karya-Nya demi memberkati serta menuntun bangsa tersebut.
- Mencari wajah Allah. Umat Allah harus menjadi pelopor dalam mencari wajah Tuhan secara terus-menerus. Mencari wajah Allah berarti merendahkan hati dan berdoa agar hidup semakin dekat dengan-Nya. Kedekatan dengan Allah bukan hanya untuk menghindari malapetaka, tetapi juga untuk sungguh-sungguh bergumul melakukan kehendak-Nya setiap saat.
- Berbalik dari jalan-jalan yang jahat. Gereja tidak hanya dipanggil untuk mengajak bangsa bertobat, tetapi juga harus menjadi pelopor dalam hidup pertobatan yang berkelanjutan. Dengan demikian, gereja menjadi teladan dalam pertobatan sejati dan menjadi saksi Kristus di tengah masyarakat. MT
Minggu 17 Agustus 2025
PESAN MINGGU INI 10 AGUSTUS 2025
MENANG DALAM PENGAMPUNAN YANG TULUS
“Lalu dipeluknyalah leher Benyamin, adiknya itu, dan menangislah ia, dan menangis pulalah Benyamin pada bahu Yusuf. Yusuf mencium semua saudaranya itu dengan mesra dan ia menangis sambil memeluk mereka. Sesudah itu barulah saudara-saudaranya bercakap-cakap dengan dia.” (Kejadian 45:14-15)
Mempelajari fakta kejahatan saudara-saudara Yusuf tentulah tidak mudah baginya untuk mengampuni. Ternyata, pengenalan Yusuf kepada Allah telah membuatnya berwawasan luas untuk memahami segala peristiwa, termasuk tindakan-tindakan jahat yang dilakukan saudara-saudaranya kepadanya.
Yusuf meyakini bahwa Allah berkuasa atas tindakan-tindakan jahat untuk diarahkan pada tujuan dan kehendak-Nya, kepada umat yang taat dan takut kepada-Nya. Pemahaman Yusuf ini menjadi dasar yang kuat baginya untuk tidak pernah menyimpan dendam atas kejahatan saudara-saudaranya.
Betul bahwa Yusuf adalah seorang manusia biasa yang punya keterbatasan, dan tentu sulit mengampuni orang yang melakukan kejahatan yang melampaui batas terhadap dirinya. Tetapi karena Yusuf percaya akan pemeliharaan Allah kepadanya, ia pun mengetahui bahwa segala perbuatan jahat terhadap dirinya bukan hanya tidak mengubah rencana Allah, tetapi justru diizinkan Allah untuk mendatangkan kebaikan bagi dirinya.
Tak ada gunanya menyimpan kejahatan; lebih baik segera mengampuni. Perjalanan panjang yang diisi dengan kejadian-kejadian yang menyengsarakan telah membuat Yusuf menerima hadiah besar dari Allah, yang menjadikannya orang kedua di Mesir. Saat Yusuf menjadi pembesar di Mesir, justru saudara-saudaranya hidup sengsara karena terjadi kelaparan secara menyeluruh di Timur Tengah. Makanan hanya ada di Mesir karena kepemimpinan Yusuf. Keadaan memaksa saudara-saudara Yusuf untuk memperoleh makanan di Mesir. Di sanalah mereka bertemu dengan Yusuf. Mereka tidak mengenal Yusuf, tetapi Yusuf sangat mengenal mereka.
Dengan cara yang bijaksana, Yusuf menguji kakak-kakaknya untuk memastikan apakah sikap mereka kepadanya telah berubah, dengan menjadikan Benyamin sebagai korban pengganti dirinya. Terbukti mereka telah berubah, karena mereka melindungi Benyamin. Yusuf memeluk dan menangisi kakak-kakaknya sebagai bukti bahwa ia memberikan pengampunan yang tulus. Sangat beralasan bila Yusuf menghukum kakak-kakaknya, tetapi Yusuf memilih sikap yang benar dan tepat: mengampuni dengan setulus hati. MT
Minggu 10 Agustus 2025
PESAN MINGGU INI 03 AGUSTUS 2025
MENGAMPUNI SEPERTI YANG YESUS AJARKAN
“Tahukah Saudara bahwa tidak mengampuni orang yang bersalah kepada Saudara berakibat hati Saudara terinfeksi kejahatan dan kepahitan? Jagalah supaya jangan seorang pun menjauhkan diri dari kasih karunia Allah, agar jangan tumbuh akar yang pahit yang menimbulkan kerusuhan dan yang mencemarkan banyak orang.” (Ibrani 12:15)
Itulah sebabnya Yesus mengatakan kepada Petrus bahwa mengampuni orang bersalah adalah tujuh puluh kali tujuh. Itu artinya, mengampuni harus selalu — tidak usah dihitung-hitung. Mengampuni bukan hanya untuk kepentingan orang yang diampuni, tetapi juga untuk kepentingan orang yang mengampuni. Dengan mengampuni, kita membebaskan orang lain dari kesalahannya, juga membebaskan diri sendiri dari kemarahan dan sakit hati.
Tidak mengampuni berarti menjadikan orang bersalah sebagai narapidana dalam penjara. Hal itu berarti kita sendiri menjadi penjaga penjara. Orang yang terpenjara dan penjaga penjara sama-sama berada dalam penjara.
Tuhan Yesus sudah mengajar murid-murid-Nya, termasuk Petrus, berdoa:
“Ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami.” (Matius 6:12)
“Karena jikalau kamu mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga. Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu.” (Matius 6:14–15)
Tuhan Yesus pernah berkata kepada murid-murid-Nya, bahwa orang yang sedikit diampuni, sedikit juga berbuat kasih (Lukas 7:47). Jadi, kasih kita kepada Tuhan sangat berhubungan erat dengan pengetahuan kita akan betapa banyak kita telah diampuni. Hal itu menyadarkan kita bahwa kita berutang untuk melepaskan banyak orang melalui pengampunan kita.
Berbeda dengan orang yang legalistik, yang cenderung memiliki sikap membenarkan diri. Menurutnya, pelanggarannya hanya sedikit, berarti hanya sedikit pula yang perlu diampuni. Hal itu membuatnya minim dalam mengasihi, dan kasihnya pun menjadi sedikit.
Penerimaan dan pengampunan Yesus atas penyangkalan Petrus telah mengubah hidup Petrus secara radikal. Salah satu perubahan itu adalah kesediaan untuk mengampuni. Pengampunan membuat seseorang kembali merasa terhormat setelah kejatuhannya.
Para penuai yang budiman! Bila seseorang memfitnah kita, berarti kita tertantang untuk mengampuni. Berapa kali kita harus mengampuni? Selalu. Tidak perlu dihitung-hitung. Karena bila kita tidak mengampuni, mungkin saja kita sedang mendendam. Padahal, perintah Tuhan kita adalah: mengampuni, bukan mendendam. MT
Minggu 03 Agustus 2025
PESAN MINGGU INI 27 JULI 2025
MENGUBAH PENCOBAAN MENJADI KESAKSIAN
Mazmur 46:2-3 “Allah itu bagi kita tempat perlindungan dan kekuatan, sebagai penolong dalam kesesakan sangat terbukti. Sebab itu kita tidak akan takut, sekalipun bumi berubah, sekalipun gunung-gunung goncang di dalam laut”
Allah ingin membentuk kita menjadi sosok yang tangguh. Tangguh berarti tidak akan pernah dihentikan oleh kesulitan dan kegagalan. Allah menginginkan umat yang kuat dan mempunyai tekad yang bulat — umat yang tidak mau ditakut-takuti oleh pencobaan dan kegagalan. Kita perlu mengetahui bahwa, betapapun sulitnya masalah dan betapapun seringnya kegagalan datang, kita bukanlah satu-satunya orang yang pernah menghadapinya dan mengalaminya.
Kalau Allah mengizinkan pencobaan, maka Allah pun punya solusi, dan Ia memberikan kepada kita cara yang tepat untuk menghadapinya. Dia sudah sangat terbukti sebagai penolong dalam kesesakan. Kenyataannya, tidak ada manusia tanpa masalah, dan juga tidak ada manusia yang tak pernah gagal. Namun hal itu tidak pernah mengubah kenyataan bahwa Dia sesungguhnya sangat aktif bekerja bagi kepentingan umat-Nya.
Tokoh-tokoh Alkitab, yaitu para nabi yang kita jadikan teladan pada bahasan sebelumnya, semua menghadapi kesulitan dan seakan-akan mengalami kegagalan. Klimaksnya adalah kehidupan Yesus sendiri.
Dari banyak kesulitan yang menghadang pelayanan-Nya, ada tiga yang sangat menonjol:
- Penolakan. Yesus berulang kali mengalami penolakan. Lebih tragisnya lagi, penolakan yang paling keras justru datang dari tokoh-tokoh agama. Bahkan, Yesus datang untuk umat-Nya, tetapi umat-Nya menolak Dia.
- Penganiayaan. Yesus datang menebar kasih, berbagi kasih tanpa pernah menyakiti siapa pun. Tetapi justru Yesus disakiti dan dianiaya secara brutal dan sangat tidak manusiawi.
- Godaan dari Iblis. Yesus diganggu dan digoda oleh iblis yang berusaha menggagalkan karya penyelamatan-Nya atas manusia berdosa.
Namun Yesus terus maju, karena Yesus belajar taat melalui penderitaan-Nya (Ibrani 5:8). Cara yang dipakai Yesus adalah teladan bagi kita. Penulis renungan ini tidak pernah gentar oleh kesulitan dan berbagai kegagalan. Yang paling mengganggu dan menggentarkan adalah masa-masa mengalami kekeringan rohani. Bagi penulis, kekeringan rohani inilah yang disebut sebagai masa kesesakan (Mazmur 46:2). Dan kalau hal ini terjadi, hanya Allah sendirilah yang mampu menolong — tetapi juga dibutuhkan kesiapan diri sendiri untuk datang sujud dan berdiam di hadirat Allah. Jika kerohanian telah dipulihkan, maka berbagai kesulitan yang menghadang — seperti yang didaftarkan dalam Mazmur 46 — hanyalah hal-hal yang diizinkan Allah untuk memperkuat kita.
“Diamlah dan ketahuilah bahwa Akulah Allah…” (Mazmur 46:11) Berhentilah memegang hal-hal yang melumpuhkan kerohanian Saudara, maka kita akan diperkuat oleh berbagai-bagai pencobaan. Dengan demikian, pencobaan itu bukanlah sekadar penderitaan, tetapi justru menjadi kesaksian yang nyata — dalam dan melalui kehidupan umat-Nya. MT
Minggu 27 Juli 2025
PESAN MINGGU INI 13 JULI 2025
BERTUMBUH MELALUI PENCOBAAN
Katanya: ”Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan!” Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dan tidak menuduh Allah berbuat yang kurang patut.” (Ayub 1:21-22)
Ayub adalah seorang yang hidup saleh dan takut akan Allah. Namun, dalam kehendak-Nya, Allah mengizinkan Ayub mengalami pencobaan yang sangat berat, yang terjadi dalam waktu yang begitu singkat. Pada awal saya membaca kitab Ayub, saya sulit menerima kenyataan bahwa Allah sendiri mengizinkan iblis mencobai Ayub. Sebab, secara manusiawi, tidak ada alasan yang tampak cukup kuat untuk membuat Ayub harus mengalami penderitaan sedemikian rupa—kehilangan harta, anak-anak, dan kesehatannya.
Bukankah Allah adalah Pribadi yang penuh kasih dan menginginkan umat-Nya hidup dalam damai sejahtera? Benar. Tetapi kasih Allah tidak menghilangkan keadilan dan kebijaksanaan-Nya. Allah memang mengasihi umat-Nya, tetapi dalam kasih-Nya itu, Dia juga adil dan mahabijaksana. Karena itu, Allah bisa mengizinkan umat-Nya mengalami kesulitan. Kesulitan bisa datang karena: kesalahan kita sendiri, kejahatan orang lain, atau situasi yang tak bisa kita kendalikan, seperti bencana alam.
Apapun bentuknya, jika Allah mengizinkan kesulitan menimpa umat-Nya, itu bukan karena Ia lalai atau tidak peduli, melainkan karena Ia: Maha Adil: menghargai tanggung jawab manusia, Mahakasih: menyertai dalam penderitaan, Mahatahu dan Mahabijaksana: tahu tujuan akhir dari semua itu untuk kebaikan kita.
Dalam hal Ayub, Allah mengizinkan penderitaan bukan karena Ayub bersalah, tetapi justru karena Ayub benar di hadapan-Nya. Ayub yang sudah percaya dan hidup saleh, diuji agar semakin percaya, semakin saleh, semakin murni di hadapan Allah.
Penderitaan Ayub bukan tanpa hasil. Di akhir ujian, Ayub memberikan kesaksian luar biasa dalam Ayub 42:5: “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau.” Itu artinya, melalui pencobaan, iman Ayub naik ke tingkat yang lebih dalam dan lebih nyata. Ia bukan lagi hanya mengenal Allah secara teori atau cerita, tetapi mengalami-Nya secara pribadi.
Kitab Ayub mengajarkan kita satu kebenaran penting: Melalui pencobaan, Allah membentuk orang percaya menjadi semakin percaya; orang baik menjadi semakin baik. Jadi, bila hari ini Anda sedang berada dalam penderitaan atau ujian berat, ingatlah: Itu bukan tanda Allah meninggalkan Anda, tetapi mungkin justru cara Allah mendekatkan Anda lebih dalam kepada-Nya. MT
Minggu 13 Juli 2025
PESAN MINGGU INI 06 JULI 2025
SIKAP YANG BENAR DALAM MENYIKAPI PENCOBAAN
“Berbahagialah orang yang bertahan dalam pencobaan, sebab apabila ia sudah tahan uji, ia akan menerima mahkota kehidupan yang dijanjikan Allah kepada barangsiapa yang mengasihi Dia.” (Yakobus 1:12)
Dalam Yakobus 1:2, dinyatakan bahwa semua orang percaya hendaklah menerima pencobaan sebagai sebuah kebahagiaan. Pencobaan yang dimaksud oleh Yakobus adalah penganiayaan dan kesulitan yang datang dari dunia dan iblis, yang bertujuan untuk menjatuhkan dan melemahkan iman para pengikut Kristus.
Rasul Paulus menyatakan dalam 1 Korintus 10:13 bahwa pencobaan adalah hal yang lazim bagi semua orang percaya. Bahkan Paulus dan Rasul Yohanes sama-sama menegaskan bahwa sikap yang benar dalam menghadapi pencobaan adalah bersukacita. Justru, ketika tidak ada pencobaan, itu bisa dianggap sebagai sesuatu yang kurang wajar. Namun demikian, pencobaan bukanlah sesuatu yang perlu dicari, karena ia pasti datang tanpa diundang. Pencobaan juga tidak perlu dihindari, melainkan harus dihadapi dengan iman dan keberanian.
Mengapa kita dikatakan berbahagia saat menghadapi pencobaan? Ada beberapa alasannya:
- Pencobaan adalah ujian iman yang menghasilkan ketekunan. Jika kita menghadapi pencobaan dengan keberanian, maka kita sedang membentuk diri menjadi pribadi yang tabah dan tekun. Ketekunan ini akan mendorong kita untuk semakin bertumbuh dalam iman.
- Pencobaan adalah kesempatan untuk mencapai kedewasaan iman. Setiap orang percaya harus siap menghadapi berbagai kesulitan dan tantangan. Yakobus menyebut bahwa pencobaan adalah ujian terhadap iman—ujian yang bertujuan untuk meningkatkan, bukan menjatuhkan. Kesulitan bukanlah hukuman Allah atau tanda bahwa Allah tidak berkenan, melainkan tanda bahwa Allah sedang memurnikan dan menguatkan komitmen iman seseorang.
- Pencobaan memberi kesempatan untuk mengalami kemenangan bersama Tuhan. Dalam Kristus, tidak ada masalah yang tidak dapat diselesaikan. Setiap pencobaan justru memberi kita kemampuan baru untuk menghadapi hidup dengan bijak dan menang. Ketika kita tetap bertahan dalam pencobaan, maka kita akan menjadi pribadi yang tahan uji. Dan jika kita sudah tahan uji, waktu dan pengalaman akan terus membentuk kita menuju kedewasaan iman.
Ingatlah, semuanya dimulai dari sikap yang tepat saat menghadapi pencobaan—yaitu bersukacita dan berbahagia. Seperti kata Yakobus: “Anggaplah sebagai suatu kebahagiaan apabila kamu jatuh ke dalam berbagai-bagai pencobaan.” (Yakobus 1:2). MT
Minggu 06 Juli 2025