Jumat 20 Juni 2025
MENJADIKAN KONFLIK SESUATU YANG MENARIK
Bacaan Sabda : Efesus 4:17-32
“Sebab itu kukatakan dan kutegaskan ini kepadamu di dalam Tuhan: Jangan hidup lagi sama seperti orang-orang yang tidak mengenal Allah dengan pikirannya yang sia-sia” (Efesus 4:17)
Kita semua mendambakan kehidupan keluarga yang rukun dan jauh dari konflik antaranggota keluarga. Namun, kita juga sama-sama tahu, mana ada keluarga yang selalu serasi dan tidak pernah mengalami konflik? Jangan pernah mencoba menghilangkan konflik, karena yang perlu kita pelajari adalah cara membuat konflik tidak menjadi pelik, melainkan menjadi sesuatu yang menarik dan membangun.
Ada beberapa cara umum yang dilakukan keluarga dalam menghadapi konflik:
- Meniru cara anak-anak saat berkelahi di tengah permainan. Seorang anak berkata, “Aku tidak main sama kamu lagi,” lalu yang lain menjawab, “Sama!” Kemudian mereka bubar, dan konflik pun dianggap selesai. Sama halnya seperti suami-istri yang saat terjadi konflik berkata, “Ya sudah, kita cerai saja.” Konflik memang berakhir, tetapi dalam pernikahan berikutnya konflik yang sama bisa terulang kembali. Komitmen orang dewasa untuk hidup dalam pernikahan tidak seharusnya sama dangkalnya dengan komitmen anak saat bermain.
- Perkelahian anjing dan kucing. Suami-istri saling memaki dengan kemarahan yang menyala. Saat konflik terjadi, suami menggebrak meja, istri membanting pintu, lalu muncul “piring terbang” di angkasa. Setelah puas, mereka saling menjauh. Setelah reda, mereka berpura-pura mesra sambil menunggu konflik berikutnya.
- Sariawan parah. Artinya malas bicara, saling diam sambil menahan sakit, menyanyi dalam hati, “Sakitnya tuh di sini, di dalam hatiku.” Walaupun diam, sakit hati tetap dipendam. Tapi biasanya, ini seperti menyimpan bom waktu yang siap meledak. Mereka mempraktikkan prinsip “diam demi damai,” tetapi pada kenyataannya berubah menjadi “diam-diam siap membantai.”
Ketiga cara di atas bukan hanya tidak produktif, tetapi justru kontraproduktif. Bukannya menghasilkan kebaikan, malah menambah masalah dan memperburuk keadaan. Cara yang tepat adalah “membicarakan konflik.” Masing-masing pihak membuka perasaan, mendengarkan dengan empati, dan berusaha menempatkan diri pada posisi pasangan. Tidak perlu menentukan siapa yang paling salah, karena biasanya kedua belah pihak memiliki kesalahan dan kebenaran masing-masing.
Terapkan Firman Tuhan dari Yakobus 1:19–20: “Cepat untuk mendengar, lambat untuk berkata-kata, dan lambat untuk marah.” Gunakan juga kunci sederhana namun ampuh berupa tiga kata: “Saya minta maaf.” Dengan menggunakan cara yang tepat, konflik bukan lagi jadi batu sandungan, melainkan menjadi pijakan untuk bertumbuh. Hubungan pun bisa merangkak naik menjadi semakin dewasa dan semakin kuat. MT
Tumpuan yang kuat dalam menghadapi konflik adalah kasih.