Refleksi…

KELUARGA YANG DIPAKAI TUHAN

Bicara Natal kita kembali diingatkan pada masa-masa masih kecil, ada sesuatu yang beda dari yang biasa kita lakonkan sehari-hari. Begitu banyak orang mau menyambut Natal. Tidak peduli dari agama manapun, moment Natal adalah moment dinanti-nantikan, tentu bukan karena maknanya, tetapi lebih karena hari liburnya, apalagi hari penuh promo barang-barang baru. Bagi banyak orang Natal sekadar hari libur menjelang akhir tahun yang dinantikan, bisa kumpul dengan keluarga, terima bonus akhir tahun. Banyak orang Kristen juga demikian, ikut arus zaman dimana hanya menjalani rutinitas perayaan natal, pergi ke gereja menghadiri kebaktian Natal, ikut memasang pohon Natal dan pernik-perniknya, tetapi melupakan makna Natal yang sesungguhnya.

Sesungguhnya Natal itu adalah peristiwa kegembiraan yang menyenangkan. Yesaya menuliskan kegembiraan itu mengatakan, “Bangsa yang berjalan di dalam kegelapan telah melihat terang yang besar, mereka yang diam di negeri kekelaman atasnya terang telah bersinar”(Yes 9:1). Ayat ini menguatkan bahwa sesungguhnya kalau Yesus itu tak pernah ada kita ini adalah orang-orang yang tetap berada dalam kegelapan, ada dalam kekelaman, ada dalam kematian yang kekal, menjadi hamba Iblis. Tetapi Tuhan Allah telah berkenan datang dan menjumpai kita seperti ditulis dalam Yesaya 9:5 “Seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putera telah diberikan kepada kita” itulah Dia, Yesus yang kita peringati dalam peristiwa natal hari ini.

Injil menuliskan kehadiran Natal itu secara berbeda-beda, tetapi dapat merangkumnya setidaknya ada peristiwa yang saling berkaitan dengan lahirnya Mesias itu. Dalam Injil Lukas menjelaskan kepada kita secara detil tahap demi tahap peristiwa kelahiran itu, yaitu Tuhan dapat memakai siapa saja untuk menggenapi nubuatan, Tuhan dapat memakai Yusuf dan Maria, Tuhan juga dapat memakai saudara dan saya, Tuhan dapat memakai keluarga kita masing-masing untuk menggenapi segala nubuatan yang pernah ada.

Pertama, keluarga yang dipakai Tuhan untuk mewujudkan nubuat para nabi di Perjanjian Lama adalah keluarga Yusuf dan Maria. Mari sejenak mengupas kesiapan mereka menerima berita ajaib, berita paling mengejutkan, berita yang menggemparkan hati mereka dan yang kemudian menggemparkan dunia. Yusuf adalah orang saleh (orang benar dihadapan Tuhan). Mat 1:19 menjelaskan bagaimana Yusuf secara diam-diam ingin melarikan diri dari peristiwa mengejutkan yang baru didengarnya. Ia tidak mampu mencerna peristiwa lahirnya Yesus yang menghebohkan keluarganya dan mengganggu hubungannya dengan Maria. Yusuf tahu ini tak mungkin terjadi, Yusuf tahu ada yang salah pada Maria tunangannya. Karena itu Yusuf menghindar dari tanggung jawab tak ingin ribut, tak ingin bertengkar, ia lebih memilih pergi saja dengan diam-diam, itu jalan ke luar yang terbaik.

Kedua, keluarga yang dipakai Tuhan mewujudkan nubuat para nabi adalah gembala-gembala yang ada di padang peternakan. Gembala-gembala terkadang disebut orang-orang yang hidupnya ada di hutan, bersekutu dengan ternak, mungkin saja sudah berhari-hari tidak mandi, mungkin saja sudah bau tubuhnya, mereka jauh dari keramaian kota, bukan orang yang berada, bukan orang yang cerdik pandai, bukan juga bangsawan. Para gembala itu adalah orang-orang pinggiran, orang-orang yang masih dianggap kurang memiliki kemampuan, orang-orang yang tersisih, tetapi ternyata mereka dipakai Tuhan menyaksikan peristiwa besar kehadiran Yesus di dunia. Lukas 2:8-20 meriwayatkan gembala-gembala itu bertemu dengan tentara surga, mereka terkejut, mereka kaget bahkan tak mampu berkata-kata. Mereka hanya terdiam menyaksikan semua berita yang disampaikan malaikat Tuhan. Tetapi setelah itu gembala-gembala bukan hanya mendengar tetapi cepat-cepat bertindak, cepat-cepat mengambil inisiatif, berbuat dengan cepat tanpa harus bermalas-malasan, bergerak sebelum matahari terbit. Lukas 2:16 menuliskan “cepat-cepat mereka berangkat dan menjumpai Maria dan Yusuf”. Tuhan menyuruh dan mereka bertindak menjalankan perintah Tuhan.

Ketiga, keluarga yang dipakai Tuhan untuk mewujudkan nubuat para nabi adalah orang-orang majus yang datang dari Timur. Ensiklopedi Alkitab menyebutkan kehadiran kelompok orang-orang majus ini sudah menjadi tradisi cerita natal. Orang-orang majus ini berbeda dengan gembala-gembala, mereka adalah para bangsawan, orang-orang yang kaya, orang-orang yang cerdik pandai, orang-orang yang bisa membaca pergerakan bintang, ahli dalam meramal yang akan terjadi, bahkan disebutkan lagi mereka itu adalah pemimpin, raja-raja di negerinya. Mereka sudah lama menyelidiki bintang-bintang di langit dan mengetahui ada yang sesuatu yang terjadi. (Yesaya, menuliskan; ada terang besar, ada yang lahir yaitu seorang raja). Orang majus percaya, walaupun jauh mereka datang juga kepada raja yang baru lahir itu. Mereka bertanya-tanya dimana dia lahir, tak pernah menyangka bahwa raja itu lahir itu ada di kandang binatang. Mereka datang dan bertemu Raja Herodes dan dari istana raja bergerak ke Betlehem mengikuti bintang yang mereka yakini. Walaupun tidak seperti yang diharapkan, tidak seperti yang dipikirkan sebelumnya, tidak seperti yang dibayangkan ternyata raja ini lahir dari keluarga kecil tak terkenal, lahir dari orang-orang yang tak memiliki kekayaan, orang biasa saja, orang miskin malah, rakyat sederhana. Tak sanggup bayar hotel, tak bisa sewa losmen, bahkan orang-orang tak mau meminjamkan rumahnya untuk sekedar bersalin pada perempuan yang hamil tua itu. Orang majus bertanya-tanya dalam hati keluarga miskin ini bagaimana bisa melahirkan seorang raja, tidak masuk akal, malah mengejutkan lagi ada di kandang binatang, ada dalam palungan, dibungkus kain lapin tak semarak tak ada pesta. Orang majus seakan tak percaya, inilah yang mereka temui. Tetapi mereka tetap menyembah dan mempersembahkan berbagai persembahan yang mahal-mahal dan berbagai hadiah-hadiah lain. Mereka tahu ini tak mungkin salah, ia ini memang Raja.

Saudara-saudara yang kekasih dalam Kristus, Keluarga yang dipakai Allah bukanlah yang sempurna, bukanlah yang terbaik, bukanlah yang bagus-bagus banget, bukanlah yang terkaya, tetapi keluarga yang dipakai Allah adalah keluarga yang menggantungkan pengharapannya pada Allah, yang setia, yang turut dalam kehendak Allah dan pasrah pada firman Allah, itulah Maria dan Yusuf. Keluarga yang dipakai Allah bisa saja seperti gembala-gembala walau dalam kekurangan, sebagai orang yang disakiti sekalipun tetap saja bisa dipakai Allah, bisa juga orang-orang majus dalam keberadaan yang berkelebihan memiliki kekayaan, juga itu dapat dipakai Allah dalam pekerjaannya. Saudara dan saya dalam kondisi apapun dapat dipakai Allah dalam melengkapi pekerjaan Allah di dunia ini.

Akhir kata, Firman Allah menyatakan siapapun kita berharga di mata Allah dan dapat dipakai Allah untuk pekerjaan Allah. Pertanyaannya apakah keluarga kita siap dipakai Allah seperti Yusuf dan Maria siap dipakai Allah.


DUA BAYI DALAM PALUNGAN

Di tahun 1994, dua orang Amerika menanggapi undangan Departemen Pendidikan Rusia untuk mengajar Moral dan Etika berdasarkan prinsip-prinsip Alkitab di sekolah-sekolah umum. Mereka diundang mengajar di penjara-penjara, kantor-kantor, departemen kepolisian, pemadam kebakaran, dan disebuah tempat yatim piatu yang besar.

Ada sekitar 100 anak laki-laki dan perempuan penghuni di situ, yang terbuang, ditinggalkan dan sekarang ditampung dalam program pemerintah. Beginilah kisah dalam kata-kata mereka:  Waktu itu mendekati musim libur tahun 1994, sewaktu anak-anak yatim piatu kita, untuk pertama kalinya – mendengar kisah Natal. Kami cerita soal Maria dan Jusuf, yang sesampai di Bethlehem, sebab tak mendapat penginapan, lalu pergi kesebuah kandang binatang, dimana bayi Yesus lahir dan diletakkan dalam sebuah palungan.

Sepanjang cerita itu, anak-anak maupun staf rumah yatim itu terpukau diam, terpaku takjub mendengarkan. Beberapa diantaranya bahkan duduk diujung depan sekali kursi mereka seakan agar bisa lebih menangkap tiap kata. Seusai ceriteranya semua anak-anak kami beri tiga potong kertas karton untuk membuat palungan, juga sehelai kertas persegi, dan sedikit sobekan kertas napkin berwarna kuning yang kami bawa. Maklum, masa itu kertas berwarna sedang langka di kota ini.

Sesuai petunjuk anak-anak itu menyobek kertasnya, lantas dengan hati-hati, menyusun sobekan pita-pita seakan-akan jerami kuning dipalungan. Potongan-potongan kecil kain flanel – digunting dari gaun-malam bekas dari seorang ibu Amerika saat meninggalkan Rusia – dipakai sebagai selimut kecil bayi itu. Bayi mirip bonekapun digunting dari lembaran kulit tipis yang kami bawa dari Amerika.

Mereka semua sibuk menyusun palungan masing-masing saat aku berjalan keliling, memperhatikan kalau-kalau ada yang butuh bantuan. Semuanya kelihatan beres, sampai aku tiba dimeja si kecil Misha (seorang anak laki-laki). Kelihatannya ia sekitar 6 tahun dan sudah menyelesaikan proyeknya.

Sewaktu kulihat palungan bocah kecil ini, saya heran bahwa bukannya satu, melainkan ada dua bayi didalamnya. Cepat kupanggil penterjemah agar menanyai anak ini kenapa ada dua bayi.  Dengan melipat tangannya dan mata menatap hasil karyanya, anak ini mulai mengulang kisah Natal dengan amat serius.

Untuk anak semuda dia yang baru sekali mendengar kisah Natal, ia mengurutkan semua kejadian demikian cermat dan telitinya – sampai pada bagian kisah di mana Maria meletakkan bayi itu ke dalam palungan. Di sini si Misha mengubahnya. Ia membuat penutup akhir kisah ini demikian:……

“Sewaktu Maria menaruh bayi itu dipalungan, Yesus lalu melihat aku dan bertanya apa aku punya tempat tinggal. Aku bilang aku tak punya mama dan tak punya papa, jadi aku tak punya tempat untuk tinggal. Lalu Yesus bilang aku sih boleh tinggal sama dia. Tapi aku bilang tidak bisa, sebab aku kan tidak punya apa-apa yang bisa kuberikan sebagai hadiah seperti orang-orang dalam kisah itu. Tapi aku begitu ingin tinggal bersamanya, jadi aku pikir, apa yah yang aku punya yang bisa dijadikan hadiah. Aku pikir barangkali kalau aku bantu menghangatkan dia, itu bisa jadi hadiah.”

“Jadi aku bertanya pada Yesus, ‘Kalau aku menghangatkanmu, cukup tidak itu sebagai kado?’ Dan Yesus menjawab, ‘Kalau kamu menjaga dan menghangatkan aku, itu bakal menjadi hadiah terbaik yang pernah diberikan siapapun padaku.’ Jadi begitu, terus aku masuk dalam palungan itu, lantas Yesus melihatku dan bilang aku boleh kok tinggal bersamanya – untuk selamanya.”

Saat sikecil Misha berhenti bercerita, air matanya menggenang meluber jatuh membasahi pipinya yang kecil. Wajahnya ia tutupi dengan tangannya, kepalanya ia jatuhkan ke meja dan seluruh tubuh dan pundaknya gemetar saat ia menangis tersedu.

Yatim piatu kecil ini telah menemukan seseorang yang takkan pernah melupakan atau meninggalkannya, yang takkan pernah berbuat zalim padanya, seseorang yang akan tetap tinggal dan menemaninya – untuk selamanya.


MAKNA NATAL !!

Saudara merayakan Natal? Saudara dapat menghitungnya bukan? Namun, apakah saudara telah memberi makna yang tepat dalam setiap perayaan momen bersejarah itu? Jangan-jangan kita telah kehilangan makna Natal yang sejati!

Sebagai seorang anak kecil, datangnya Natal selalu ditunggu-tunggu. Mengapa begitu? Karena ketika Natal tiba akan mendapatkan sesuatu yang baru: baju baru dan barang-barang lain yang serba baru. Kala itu, bagi saya Natal identik dengan mendapatkan hadiah. Karena itulah selalu bermimpi-mimpi Natal segera tiba. Bila memungkinkan Natal dirayakan setiap hari agar hadiahnya makin melimpah.

Bagi aktivis gereja, Natal mungkin identik dengan kegiatan super. Akibatnya menjadi super sibuk. Latihan ini dan itu. Menghafal naskah drama. Latihan paduan suara dan sebagainya. Mall pun tidak ketinggalan menyambut Natal. Bagi mereka, Natal adalah mengumandangkan kidung Natal. Menjual aksesori-aksesori Natal. Gebyar Natal menggema memenuhi mall.

Bagaimana dengan pelaku bisnis? Bagi pebisnis biro perjalanan misalnya, Natal dikaitkan dengan ramainya perjalanan wisata. Banyak orang yang melakukan ziarah atau wisata rohani ke berbagai tempat. Yang bergerak dalam bisnis perhotelan mungkin memaknai Natal dengan banyaknya tamu hotel. Hotel dipenuhi para tamu yang sedang menjalankan ritual libur Natal. Lain lagi dengan para pekerja. Pekerja perusahaan mungkin saja memaknai Natal dengan Tunjangan Hari Raya (THR). Maka benarlah kata seseorang, Natal memberi makna yang berbeda untuk orang yang berbeda.

Akan tetapi, pertanyaan mendasar yang perlu diajukan adalah seandainya hal-hal di atas tidak ditemui dalam Natal, masihkah disebut Natal? Masih adakah makna Natal tanpa embel-embel tersebut? Masihkah disebut Natal tanpa menerima SMS atau kartu Natal? Masihkah disebut Natal tanpa lagu Malam Kudus atau pohon terang?

Saat ini natal telah menjadi industri yang menguntungkan bagi banyak orang. Banyak orang Kristen yang merayakan natal dan menyambut natal bukanlah menyambut bayi Yesus, menunggu-nunggu kedatangan Yesus, mempersiapkan kelahiran Yesus, melainkan orang hanya menyambut hari natalnya. Natal di sambut dengan gegap gempita dan komersialisasi natal di lakukan oleh banyak pengusaha (orang Kristen juga mungkin) dengan menjual banyak produk yang berkaitan dengan natal ini. Ada yang menjual mainan, pernik-pernik natal, lagu-lagu natal, kartu nalal dan lain-lain. Itulah industri natal, itulah globalisasi natal. Apakah yang kita persiapkan menjelang natal tiba?

Yah, kita cenderung mempersiapkan atribut-atribut natal, simbol-simbol natal, fenomena natal agar kelihatan fenomenal. Padahal, ada banyak orang Kristen merayakan natal tidak lagi menyanyikan lagu-lagu natal. Ada persekutuan atau gereja yang hanya menyanyikan lagu malam kudus sebagai lagu natal, namun sisanya lagu-lagu umum biasa. Ada gereja/persekutuan yang tidak lagi memberitakan Kristus dalam kotbah natal. Itukah Natal?


Refleksi Minggu Ini…..